WARTAMANDAILING.COM, Jakarta – Pendukung Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang bernama Zikria ditangkap polisi gara-gara menghina Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma). Terlebih dahulu, Zikria dilaporkan oleh kelompok Forum Suroboyo Wani yang tak terima ‘superheronya’ dihina.
Forum Suroboyo Wani menggelar aksi di sekitar Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Jumat (24/1/2020) lalu. Spanduk yang mereka bawa bertuliskan ‘Forum Arek Suroboyo Wani, Usut Tuntas Akun Medsos Penyebar Kebencian.
Sedangkan berbagai poster yang dibentangkan antara lain ‘Hukum Pelaku Pencemaran Nama Baik Walikota Kami, Tuman, ‘Solidaritas untuk Superhero Surabaya’ dan ‘Jangan Provokasi Arek Suroboyo’. Mereka akhirnya melaporkan akun Facebook Zikria Dzatil yang telah menghina Risma, ke polisi.
Perkembangan selanjutnya, bukan hanya Forum Arek Suroboyo Wani yang melaporkan Zikria. Pada 21 Januari, Kabag Hukum Pemkot Surabaya yang menerima kuasa dari Risma melaporkan Zikria ke polisi. Postingan Zikria pada 16 Januari itu mengandung foto Risma dengan kalimat menghina.
“Anjirrrr… asli ngakak abis… nemu foto sang kodok betina legendaris,” tulis akun Zikria Dzatil pada 16 Januari 2020 pukul 18.59 WIB.
Gara-gara penghinaan terhadap Risma itu, Zikria ditangkap polisi pada Jumat (31/1) malam. Zikria bukan orang Jakarta maupun orang Surabaya, tapi warga Katulampa, Bogor, Jawa Barat. Suami Zikria berharap maaf atas kelakuan istrinya.
Menuju Pilpres 2024
Terlepas dari kasus hukumnya, ada konteks yang melatarbelakangi hal itu, yakni perkara dukung mendukung, perkara pro dan anti, atau perkara cinta dan benci terhadap politikus. Pemerhati politik menelaah munculnya gejala fanatisme kelompok pendukung Anies dan kelompok pendukung Risma di tataran masyarakat non-elite.
“Saya kira ini ada perebutan pemilih oleh elite politik, memperebutkan suara untuk 2024,” kata pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Median, Rico Marbun, kepada wartawan, Selasa (4/2/2020).
Riak-riak di akar-rumput itu ditengarainya merupakan pertanda terbukanya jalan menujuPilpres 2024. Konflik-konflik itu tidak muncul di ruang hampa, melainkan digerakkan elite-elite yang entah siapa, Rico tak merinci.
Yang jelas, yang masuk penjara bukanlah elite melainkan non-elite. Ada pula konsekuensi dari UU ITE yang sebelumnya sudah banyak ‘memakan korban’.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Kelompok Diskusi Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Kunto Adi Wibowo, menarik akar fanatisme ini bahkan sampai Pilpres 2014. Sejak saat itulah masyarakat Indonesia menghadapi pilihan yang membelah, yakni pilih Joko Widodo (Jokowi) atau Prabowo Subianto, istilah persaingan cebong versus kampret kemudian terbentuk.
“Kampret sudah berevolusi jadi kadrun, cebong-pun juga sudah berevolusi. Ini adalah drama Cebong vs Kampret Season 3,” kata Kunto, dihubungi terpisah.
Seolah tak memperdulikan Jokowi dan Prabowo yang sudah berrekonsiliasi dalam satu kabinet, akar rumput masih terbelah.
Pendukung Jokowi sebagian besar menjadi pendukung Risma saat ini, pendukung Prabowo sebagian besar menjadi pendukung Anies.
Sebagaimana diketahui, Risma dan Jokowi sama-sama berasal dari PDIP, Anies dalam Pilgub DKI 2017 didukung Gerindra, partai besutan Prabowo, dan PKS.
Anies dan Risma diasumsikan bakal berlaga di Pilpres 2024. Penalarannya, masa jabatan Anies sebagai Gubernur Jakarta bakal berakhir pada 2022 dan masa jabatan Risma sebagai Wali Kota Surabaya bakal berakhir pada 2020.
Di sisi lain, ada catatan sejarah bahwa Gubernur Jakarta berpotensi lanjut ke Presiden RI, sebagaimana yang dilakukan Jokowi pada 2014. Kalangan non-pendukung Anies tak ingin sejarah itu berulang. Maka Risma-lah yang dinilai berpotensi kuat melawan Anies di Pilpres 2024.
“Antitesisnya adalah Risma. Keduanya sama-sama kepala daerah meski berbeda level, namun Surabaya dan Jakarta adalah dua kota besar di Indonesia. Terlebih lagi dua orang ini berasal dari dukungan partai berbeda,” kata Kunto.
Sumber berita: detik.com