Oleh: Asyari Usman
Ada sudut pandang lain untuk melihat kasus Irjen Napoleon Bonaparte. Di panggung depan, publik hanya memahami bahwa Bang Napo -begitu panggilan akrab Napoleon- dihukum penjara 4 tahun karena menerima sogok dari Joko Tjandra dalam urusan “red notice” (DPO) Interpol.
Tetapi, ada panggung belakang yang perlu dipahami. Sebab, di panggung belakang inilah berlangsung penulisan naskah dan penyutradaraan untuk Bang Napo.
Nah, dari mana kita bisa mengetahui prosesi panggung belakang itu? Bukankah publik tidak bisa mengakses panggung belakang?
Memang betul. Kita tidak bisa menyaksikan hiruk-pikuk panggung belakang. Tetapi, Bang Napo pasti tahu. Sebab, dia adalah orang yang tercantum di naskah dan “digiring” oleh sutradara. Dia kenal baik dengan sutradara dan para asisten sutradara. Dia bahkan kenal dengan juru-rias dan para teknisi yang ada di panggung belakang.
Drama yang disiapkan di panggung belakang itulah yang kemudian memunculkan kasus sogok “red notice”. Napoleon langsung sadar. Dia sedang dijadikan korban. Untuk dua tujuan sekaligus. Pertama, untuk menutupi kebusukan orang-orang yang berada di panggung belakang. Kedua, untuk memaklumatkan kepada publik bahwa Napoleon adalah “artis” yang kotor. Karena itu, dia tidak boleh lagi tampil.
Para penonton pun percaya bahwa Napoleon orang kotor. Sebab, itulah yang tampak di panggung depan. Ditambah lagi dengan amplifikasi dari media yang berteman baik dengan, atau yang dikooptasi oleh, panggung belakang.
Orang lain menyebut proses ini “office politic” (politik kantor). Intrik di lingkungan kantor. Napoleon adalah korban politik kantor. Dan ini berlangsung di mana-mana. Di kantor pemerintah maupun swasta. Ada di semua kebudayaan. Politik Kantor adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Ciri-ciri “office politic” adalah jilat-menjilat, suka-tidak suka, nepotisme, bisik-bisik, jalan belakang, dlsb.
Mengapa Napoleon menjadi korban “office politic”? Karena dia bukan perwira biasa-biasa saja, kata sumber FNN yang tak mau disebut namanya. Di mata para penyandang bintang di jajaran Polri, dia dianggap ancaman terhadap karir mereka. Karena itu, ancaman ini harus dilenyapkan.
Kuat dugaan, karir Napoloeon sengaja dihabisi. Agar ancaman itu sirna. Sehingga muluslah jalan untuk orang-orang yang menjadi pemain “office politic” di Polri.
Sumber FNN menambahkan, Napo memiliki kapabilitas, kapasitas dan integritas. Dia memiliki kemampuan dan karisma untuk terus naik jika semua berjalan wajar. Dia orang cerdas dan pintar. Menguasai banyak masalah dan memiliki wawasan yang mumpuni.
Napoleon menguasai bahasa Inggris dengan baik. Itulah sebabnya dia ditugaskan sebagai perwira hubungan internasional. Dia juga memiliki keterampilan ekstra. Meraih predikat Dan 3 karateka dan beberapa kali menjadi juara menembak Piala Kapolri.
Banyak yang takut bersaing dengan Napoleon secara fair, ujar sumber. Dia memiliki berbagai kelebihan yang tak dipunyai para bintang lain di Polri. Irjen Napoleon seharusnya bisa mulus menjadi Kabareskrim. Tetapi itu tidak terjadi dengan latarbelakang yang sangat mengherankan. Namun, Pak Napo tidak ambil pusing.
Dengan kecerdasan, karisma, dan karakter yang dimilikinya, Napoleon bahkan wajar naik sampai ke kursi Kapolri. Dia seangkatan dengan mantan Kapolri Idhan Aziz.
Menurut pengakuan Pak Napo, dia bukan tipe jenderal yang merasa perlu mengumpulkan kekayaan. Kediaman pribadinya di kawasan Condet, kata Napo, adalah rumah terjelek di kalangan para jenderal.
Seperti diungkapkan sumber FNN, Napoleon tidak masuk ke dalam gerbong para jenderal yang suka berbisnis dan berpolitik. Sebagai konsekuensinya, dia menjadi terpencil sendirian. Sangat mungkin, dia dikorbankan karena posisinya sendirian di luar gerbong.
Terkait dengan masalah hukum yang dihadapinya, Napoleon bertekad keras akan melawan kezaliman terhadap dirinya. Dia menyebut dirinya dizalimi dan dikriminalisasikan.
Dia konsisten menyatakan tidak pernah menerima uang sogok dari Joko Tjandra. Untuk itu, Napoleon mengatakan dia memiliki bukti krusial berupa rekaman percakapan antara dirinya, Brigjenpol Prasetijo Utomo (PU), dan Tommy Sumardi (TS). Anehnya, majelis hakim yang mengadili Napoleon menolak untuk memperdengarkan rekaman pembicaraan itu di persidangan.
Tommy adalah suruhan JT dalam urusan “red notice” Interpol. Sedangkan Brigjen PU adalah orang yang menjumpakan Tommy dengan Napoleon.
Kuasa hukum Napoleon, Dr Ahmad Yani SH MH, mengatakan ada sejumlah kejanggalan dalam proses penyidangan kliennya. Untuk itu, kuasa hukum telah melaporkan majelis hakim PN Jakarta Pusat ke Komisi Yudisial (KY). Saat ini sedang ditunggu langkah-langkah yang akan diambil KY.
(Penulis wartawan senior FNN)