WARTAMANDAILING.COM – Apa yang terlintas dalam benak kita, ketika mendengar kata pesantren? Tempat belajar ilmu agama dengan mondok, seperti itu bukan? Dan apa yang diinginkan atau dicita-citakan para orang tua calon santri, ketika anak-anaknya hendak masuk pesantren? Umumnya, mereka ingin agar anak-anaknya menjadi anak shaleh dan pandai dalam ilmu agama. Atau dengan istilah lain, ingin anaknya menjadi ulama.
Pertanyaan selanjutnya, apakah keberadaan pesantren memang untuk mencetak para ulama? Sejak kapan pesantren berdiri dan apa perannya dalam kehidupan?
Dalam buku Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto, pesantren disinyalir merupakan hasil Islamisasi sistem pendidikan lokal yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara. Kala itu, lembaga pendidikan lokal berupa padepokan dan dukuh banyak didirikan untuk mendidik para cantrik.
Biasanya berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kiai atau ulama agama Islam yang menetap di suatu tempat. Kemudian, datanglah para santri yang hendak belajar berbagai ilmu agama kepadanya.
Tidak jarang santri yang ingin belajar berasal dari daerah yang jauh. Untuk itu, dibangun pula tempat bermukim para santri di sekitar kediaman kiai tadi. Semakin banyak santri yang ingin menuntut ilmu, akan semakin banyak pula pondok yang dibangun.
Para santri yang sudah menimba ilmu agama tersebut, mereka akan mengamalkan dan menyebarkan ilmu yang didapat dari pesantren, di lingkungan tempat mereka hidup. Maka, peran pesantren nampaknya memang lebih fokus sebagai mesin pencetak ulama dan pengemban dakwah Islam atau da’i dan da’iyah.
Kini, jumlah pesantren kian banyak, begitu pula dengan santrinya. Pesantren di Jawa Barat memiliki jumlah yang paling banyak secara nasional, sedikitnya terdapat 8 ribu lebih pesantren dengan santri yang berjumlah lebih dari 700 ribu orang.
Realitas tersebut dipandang sebagai sebuah potensi yang mampu menjadi alternatif bagi pertumbuhan ekonomi baru di Jabar. Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat Herawanto menuturkan kerja sama dengan pelaku bisnis perbankan dan Pemdaprov Jawa Barat serta kabupaten dan kota di Jawa Barat telah dilakukan untuk pengembangan ekonomi di 65 pesantren.
“Hingga saat ini, telah terdapat 65 pondok pesantren mitra Bank Indonesia di Jawa Barat berkolaborasi dengan dinas pemerintah provinsi dan daerah yang tersebar di Jawa Barat dengan mengusung adopsi dan optimalisasi konsep digital and integrated farming ,” ujarnya dalam event road to Festival Ekonomi Syariah (Fesyar) Jabar 2021.
Melihat hal tersebut, sebagian pihak mungkin bertanya kritis, bagaimana nasib pesantren ke depan? Tidakkah hal tersebut akan berpengaruh terhadap peran pesantren yang sejak awal keberadaannya identik dengan semangat memperdalam agama Islam? Mampukah pesantren tetap menjadi mesin pencetak ulama di tengah kesibukan menjadi mitra bisnis?
Padahal selama ini, di saat pendidikan di sekolah tidak mampu mencetak generasi Qur’ani yang faqih fiddin, pesantren menjadi alternatif pilihan bagi kaum muslim yang merindukan lahirnya generasi unggul penerus peradaban.
Barangkali, beginilah kondisi masyarakat hari ini ketika diwarnai oleh corak kehidupan yang kapitalistik, yakni sebuah paham yang menjadikan segala sesuatu senantiasa dipandang dari sudut materi atau ekonomi semata. Termasuk memandang keberadaan pesantren.
Berbeda halnya ketika masyarakat diwarnai dengan corak kehidupan yang islami, maka segala sesuatu dipandang sebagai ladang untuk memperoleh kemaslahatan bagi umat Islam, demi meraih keridhaan Allah Swt. Termasuk dalam memandang lembaga pendidikan. Hal ini bisa digambarkan sebagai berikut:
Pertama, bahwasannya Islam memberikan gelar bagi kaum muslim sebagai ummat terbaik (khairu ummah). Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. berikut:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; melakukan amar makruf nahi mungkar dan mengimani Allah.” (QS Ali Imran [3]: 110).
Terkait umat terbaik, ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasul saw. saat beliau sedang di atas mimbar, “Siapakah manusia terbaik?” Rasul saw. menjawab,
خَيْرُ النَّاسِ أقْرَؤهُمْ وَأَتْقَاهُمْ للهِ، وآمَرُهُمْ بِالمعروفِ، وأنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَأَوْصَلُهُمْ لِلرَّحِمِ
“Manusia terbaik adalah yang paling banyak membaca dan memahami (Al-Qur’an), yang paling bertakwa kepada Allah, yang paling banyak melakukan amar makruf nahi mungkar dan yang paling sering menyambung silaturahmi.” (HR Ahmad)
Kedua, bahwasannya dalam Islam, peran negara dalam mencetak generasi terbaik sangatlah utama. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dalam memberikan pendidikan kepada para sahabat, agar mencintai Allah dan Rasul-Nya, juga agar senantiasa terikat dengan syariat-Nya.
Hasil dari sistem pendidikan yang diterapkan oleh Rasulullah sangat nampak dari sosok para sahabat. Mereka memiliki kepribadian Islam yang kokoh, serta memiliki kecakapan dalam menguasi ilmu dunia.
Sebagai contoh, Usamah bin Zaid, pemuda yang saat berumur 18 tahun sudah mendapat kepercayaan Rasulullah, yang dilanjutkan masa Abu Bakar Ash-Shidiq, memimpin pasukan muslim menghadapi salah satu kekuatan terbesar saat itu untuk membebaskan bumi Syam, Romawi.
Sistem pendidikan yang diajarkan Rasulullah SAW terus dilanjutkan pasca beliau wafat. Sebuah sistem pendidikan yang memiliki dua tujuan. Pertama, membentuk kepribadian Islam yang kuat mengendalikan zaman. Kedua, menguasai sains dan teknologi paling mutakhir.
Hasil dari sistem pendidikan tersebut, nampak dari generasi yang lahir ketika sistem tersebut diterapkan dalam kehidupan. Berikut di antara contoh generasi terbaik yang lahir pada masa kejayaan Islam.
Siapa yang tidak kenal dengan Muhammad Al-Fatih? Pada usia 21 tahun, beliau sudah menjadi panglima perang pasukan muslim untuk meruntuhkan salah satu imperium yang telah berdiri kokoh selama 11 abad, Byzantium.
Siapa pula yang tidak kenal dengan empat tokoh imam mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali? Hingga kini, karya-karya mereka menjadi rujukan umat Islam di berbagai belahan dunia.
Banyak pula generasi yang menjadi ilmuwan dari berbagai disiplin Ilmu. Karya-karya para ilmuwan muslim ini mendapat pengakuan luas dan menjadi rujukan para ilmuwan dunia, termasuk ilmuwan Barat. Di antaranya adalah Ibnu Sina (Avicena) ‘bapak kedokteran dunia’, Jabir Ibnu Hayyan ‘bapak kimia dunia’, dan lain-lain.
Termasuk keberadaan pesantren, mampu menjadi pencetak generasi terbaik pada masanya. Dari lembaga ini, lahirlah para ulama kharismatik dengan segudang karyanya. Dari lembaga ini pula, lahir para mujtahid dan mujahid.
Konsep jihad tidak hanya mereka pelajari sebagai teori, namun mampu mereka aplikasikan dalam kehidupan nyata, yakni dengan berjuang membela Islam dan kaum muslimin. Terbukti dalam tinta sejarah, para kiai dan santri mampu menjadi pelopor gerakan yang melawan penjajah.
Semua ini terjadi ketika keberadaan pesantren konsen dalam proses mencetak generasi terbaik. Uniknya pada masa terbaiknya, pesantren hanya mengambil pembiayaan pondok alakadarnya dari para santri atau masyarakat.
Karena kunci pesantren adalah kurikulumnya, bukan pada bangunan fisiknya. Kemandirian finansial ini dipandang perlu demi menghindari campur tangan pihak luar terhadap kurikulum dan sistem pendidikan di pesantren.
Dan yang jauh lebih luar biasa lagi, ketika pesantren ada di bawah naungan sistem Islam. Sudah dipastikan mampu melahirkan generasi terbaik yang tiada duanya. Generasi yang faqqih fiddin, mujtahid dan mujahid. Bahkan lebih dari itu, mereka pun bisa jadi ilmuwan muslim.
Karena penguasa dalam negara yang menerapkan sistem Islam tidak akan ragu dan perhitungan dalam memberikan pembiayaan ke pesantren. Pembiayaan tersebut diberikan tanpa memiliki kepentingan lain, selain demi lancarnya tujuan pendidikan. Wallahu a’lam.