WARTAMANDAILING.COM, Jakarta – Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Mandailing Natal (Madina) Harun Mustafa Nasution – M. Ichwan Husein Nasution daftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Gugatan ini jelas tercantum dalam website MK, Kamis (5/11/2024).
Pengajuan gugatan ini dibenarkan oleh Ketua Tim Pemenangan Paslon Harun-Ichwan dengan Slogan “ON MA”, Zuchri Nasution dengan nomor : 32/PAN.MK/e-AP3/12/2024. Dalam sambungan telepon itu Zuchri membenarkan bahwa gugatan itu benar.
“Ya, kita memasukkan gugatan itu ke MK. Kita merasa banyak ditemukannya kecurangan dalam Pilkada Madina yang baru saja dilangsungkan, November kemarin,” ungkap Zuchri.
Selain itu, Zuchri juga menjelaskan dalam permohonan gugatan itu, tim ON MA memasukkan beberapa dalil. Namun dalil-dalil gugatan itu tidak bisa dijelaskannya secara terperinci.
“Nanti saja. Yang pasti kita merasa dicurangi. Kita menggunakan hak kita, agar MK membuka secara jelas dan terang terkait Pilkada Madina ini,” tegas Zuchri.
Sementara itu, MK pernah menegaskan bahwa mereka dapat mendiskualifikasi calon, bahkan calon terpilih, pada Pilkada 2024. Hal ini dilakukan jika KPU tidak teliti dalam memastikan terpenuhinya syarat calon di awal pendaftaran.
Juru bicara hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih, menegaskan bahwa MK tidak sekadar ‘Mahkamah Kalkulator’ yang mengurusi hasil penghitungan suara saja, namun bakal mengawal keadilan substantif dalam sebuah pemilu, termasuk pilkada.
“Beberapa putusan Mahkamah (pada pilkada sebelumnya) pada akhirnya, mau tidak mau, mendorong sampai ke proses di awal, proses pencalonan yang ada disitu. Mungkin tadinya tidak dipikirkan, dianggap sudah lewat, tetapi kita harus menjaga kemurnian sebuah pemilu,” kata Enny dalam webinar bertajuk ‘Pilkada 2024 dan Penyelesaian Perselisihan Hasil Sengketa Pilkada’ yang disiarkan akun YouTube MK, Senin (5/8/2024) seperti dikutip dari www.kompas.com.
MK Minta KPU Hati-hati Proses Pendaftaran Calon Kepala Daerah Secara konstruksi penegakan hukum pemilu di Indonesia. Enny mengakui bahwa MK sebetulnya berperan sebagai pengadil di tingkat akhir, setelah KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), hingga Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Enny juga mengakui, Pasal 158 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada mengatur bahwa sengketa hasil pilkada hanya dapat diajukan ke MK jika selisih perolehan suara mencapai maksimum 2 persen.
Akan tetapi, Enny menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan dan ambang batas/threshold itu dapat dikesampingkan.
“Ketika di akhir ternyata dilihat tidak jalan yang di awal, harus dikembalikan dari hulu ke hilir supaya sempurna sebagaimana prinsip kita yang menginginkan demokrasi yang luber dan jurdil,” ucap dia. (*)