WARTAMANDAILING.COM – Sebuah Pondok Pesantren yang terletak di bagian utara pulau Sumatera ini para santri sering menggelar diskusi. Sebenarnya tidak ada yang spesial disini, hanya pondok kecil berukuran panjang 3 meter dan lebar 2 meter. Dibaluti kepingan papan tua serta atap ijuk yang terbuat dari tanaman aren.
Pondok-pondok disini sangat ramah sekali, bukan hanya kepada siapa, tetapi juga kepada apa saja yang datang. Termasuk angin dan hujan yang kerap datang menyapa. Kalau yang datang itu adalah angin, maka ada dua jalur yang disediakan tempat angin datang berkunjung, pertama lewat celah-celah dinding dan kedua melalui sela-sela lantai yang sama-sama terbuat dari kayu.
Jika yang datang adalah hujan, maka tempias air juga bisa masuk dari dinding papan yang renggang ataupun dari atap tua yang kehabisan tenaga menentang curahan air hujan, kadangkala badai. Jadilah pondok tak pernah sunyi. Yang datang berkunjung bisa saja santri kadang pula yang dikirim adalah rahmat Allah yang Maha Kuasa.
Maka di malam yang kesekian ini, beberapa santri berkumpul, lalu seperti biasa memulai diskusi. Pertanyaan pertama datang dari seorang kawan yang jauh-jauh dari Kota Bogor lalu memilih menuntut ilmu di Pesantren yang amat sederhana ini, “Kenapa sih, permasalahan di negara kita tidak ada habis-habisnya? Kenapa makin banyak kasus-kasus yang bermunculan? Yang satu tak terselesaikan malah bertambah yang satu lagi?”
Yang lain menimpali, “Soal korupsi ribut, pernyataan-pernyataan ribut, penggusuran lahan ribut, lalu sibuk tuntut-menuntut di pengadilan”.
Kemudian saya tertawa. Setidaknya karena dua hal, pertama melihat tentang betapa polos dan lugunya anak-anak seperti kami yang tak mengerti barang secuilpun tentang konstelasi perpolitikan di negeri ini, namun selalu sibuk mempertanyakan “Kenapa seperti ini? “Kenapa begini?” “Kenapa tak begitu?”. Kedua, tentang betapa lucunya negeri ini, para pejabat yang hari-harinya selalu dihabisi bersafari tetapi hidup seperti sapi. Bekerja dan mengabdi kepada materi, sehingga permasalahan-permasalahan yang menuntut nilai lebih dari nurani jadi terancam terpinggiri.
“Ada dua maknanya, pertama untuk melariskan media. Kedua, negara kita memang sedang membutuhkan akselerasi dari kasus-kasus seperti yang kau sebutkan tadi kemudian diakumulasi untuk mengukur seberapa besar loyalitas masyarakat kepada penguasa, yang kelak bisa dijadikan sebagai dasar pertimbangan keputusan politik juga termasuk modal untuk menentukan siapa yang bakal menjadi presiden 5 tahun lagi.”
“Namun kenapa para penguasa-penguasa disana begitu tega mempersempit ruang gerak orang-orang miskin, Mat? Tak cukup mereka diberi ruang untuk membuka usaha karena alasan utamanya adalah modal, juga termasuk ruang untuk diberi keadilan”
“Apakah mereka tak bernurani lagi? Terjadi pembodohan dimana-mana, dan orang-orang miskin seperti dihapuskan peluang mereka untuk menjadi manusia pintar dan kaya” Kawan saya yang satu ini memang sedikit kritis perihal keadilan.
“Loh, bagaimana? Bukankah yang terjadi justru adalah segala sesuatunya khas ke-Indonesia-an sekali? Untuk urusan keadilan, orang miskin seperti kita ini harus lebih tau diri. Jangan buru-buru untuk diadili dan dilayani, kita perlu inisiatif untuk adil kepada diri sendiri, terkait penilaian kita terhadap hukum negara kita memang tak layak mendapatkan pelayanan lebih.
Ada beberapa hal yang boleh didapatkan hanya khusus untuk orang-orang kaya, bukan orang-orang seperti kita ini, seperti keadilan itu tadi. Keadilan harus dibeli dengan hal yang serasi dengan dia, relasi dan uang. Itulah realitas sejarah kita yang sesungguhnya, segala aspek sepertinya memang harus dibangun dengan uang.”
Tentu saja mereka mengerti, tentang betapa sulitnya mendapatkan keadilan di negeri ini.
Oleh : M. Rizki Fadhilah alias Bang Mamat Santri Pondok Pesantren Musthafawiyah Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara