Libur tahun 2019 sudah berlalu, orang tua akan mendapatkan hasil rapot anaknya. Di media sosial sudah banyak orang tua yang memposting rangking atau pun berprestasi, orang tua memposting piala, hadiah dan nilai rapor, sebagai bentuk ekspresi bahagia dan bangga dari kecerdasan anaknya Lalu, bagaimana dengan anak yang tidak rangking? Apakah masa depannya suram?
Oleh : Muhammad Iqbal
Dekan Psikologi UMB
Saya sering keliling sekolah-sekolah, banyak testimoni guru mengatakan bahwa dia heran ketika acara reuni siswa, justru anak yang dahulunya tidak menonjol, cenderung dianggap malas dan “nakal” ternyata justru banyak juga yang sukses, bahkan mereka pula yang paling banyak memberikan bantuan dan sumbangan ke sekolah berbanding anak yang dahulunya rangking dan berprestasi.
Yang cenderung “nakal” dulunya di sekolah, tidak kalah sukses dalam berkarir, bahkan adajuga yang sukses menjadi pemimpin dalam sosial kemasyarakatan, bisnis dan politik Sementara yang ranking sukses dalam karir sebagai ASN, karyawan, peneliti , akademisi.
Lalu apa sebenarnya yang terjadi? kenapa walaupun dalam hal akademik di sekolah rendah, yang dulu malas dan “nakal” juga bisa melejit dan sukses?
Ternyata usut punya usut mereka memiliki kecerdasan yang tidak tercantum dalam format rapor sekolah, dan ketika di sekolah guru dan orang tua tidak menganggap itu sebuah potensi kecerdasan, padahal “hal” itu sebenarnya sangat menentukan kesuksesan mereka dalam karir, apakah “hal” itu?
Yaitu adab, akhlak, “soft skill”, berani, percaya diri, tangguh, tahan banting, gigih, komunikatif, bekerja sama, mudah bergaul, tidak baper, mimpi yang besar dan motivasi hidup yang tinggi
Ketika sekolah mereka dulu malas dan “nakal” karena minat mereka memang bukan di akademik, mereka mungkin cenderung suka seni, olah raga, musik, bahasa/sastra, namun tidak tersalurkan
karena guru dan orang tua selalu menekan selama ini bahwa anak cerdas itu adalah anak yang bisa matematika, fisika, kimia, biologi, sehingga mereka kurang memperhatikan dan akhirnya mengganggu temannya
Sementara itu, banyak mereka yang rangking dahulunya cenderung kaku dalam pergaulan, individualis, karena sering dipuji oleh guru dan orang tua mereka tumbuh menjadi pribadi yang egois, sombong, merendahkan orang lain, enggan bergaul, hanya mengedepankan kemampuan akademik saja, sehingga karirnya terhambat.
Jadi sebenarnya semua anak itu punya potensi yang sama untuk sukses, anak yang memiliki “soft skill” yang baik kalau diimbangi dengan kemampuan akademik akan menjadi anak yang unggul, demikian juga dengan anak yang memiliki kemampuan akademik saja, kalau di tingkatkan kemampuan “soft skill” akan tumbuh menjadi anak yang hebat Namun bila kita dapati anak kita memang lemah dalam akademik, jangan pula berkecil hati, mereka masih punya masa depan, dengan kemampuan “soft skill”.
Mereka akan tumbuh menjadi wiruasaha yang sukses, mungkin mereka tidak cocok menjadi akademisi, tapi mereka sangat cocok menjadi, musisi, entertainment, entrepreneur, ataupun pemimpin di sosial dan politik.
Yang kita khawatirkan adalah anak yang saat ini rangking namun tidak memiliki mental yang tangguh, penakut, individualis, kaku, baper-an karena be~ berapa kasus didapati mereka yang cerdas secara akademik, lemah sosial berakhir dengan “bunuh diri”
Jadi jangan bunuh harapan dan masa depan anak dengan kata-kata yang menyakitkan, bodoh, malas, lemot, hanya karena nilai rapor yang tidak setinggi harapan orang tuanya. Ingat ucapan orang tua adalah doa bagi anaknya. Semua anak tentunya punya potensi untuk berkembang, bantu dan fasilitasi mereka untuk bisa mengasah kekurangan masing-masing, agar potensi tersebut cepat keluar.
Dan terakhir adalah doa orang tua, karena doa orang tua sangat “dasyat” membuka pintu rezeki anak, untuk itu asah akhlak dan budi pekerti ya, latih mereka bekerja sama, bergotong royong dan saling menyayangi.(*)