WARTAMANDAILING.COM, Syekh Haji Musthafa Husein Nasution bin Husein Nasution bin Umar Nasution al-Mandaili adalah seorang Ulama terkemuka di Sumatera Utara yang meninggalkan karya bangunan keislaman monumental yaitu Madrasah di desa Purba Baru, kabupaten Mandailing Natal (Madina) Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
Saat ini nama Syekh Musthafa Husein diabadikan pada salah satu gedung utama di Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara Medan yang berembiro dari Universitas Nahdlatul Ulama Sumatera Utara.
Ponpes Musthafawiyah sebagai asal sejarah tumbuhnya Nahdlatul Ulama di Sumatera Utara yang dibawa oleh Syekh Musthafa Husein pada 1945 dan diresmikan pada Februari 1947 di kota Padangsidimpuan.
Tahun 1936, pemerintah Belanda memberikan bintang jasa padanya atas usahanya dalam bidang pendidikan, pada masa Agresi Belanda sesudah Indonesia merdeka ia bersama ulama seperti Syekh Ja’far Abdul Kadir al-Mandily dan H. Fakhruddin Arif pernah mengeluarkan fatwa wajib (fardu’ain) bagi setiap muslim yang mukallaf mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda.
Syekh Musthafa Husein tidak hanya seorang Ulama besar, tetapi dia juga adalah seorang wiraswasta dan sekaligus sebagai politikus dan cendikiawan yang ikut menghantarkan kemerdekaan bangsa ini dari kolonialisme Belanda dan Jepang.
Dia juga adalah seorang Tokoh Pergerakan, seorang Ulama Mujahid, penggerak dan pelopor bagi persatuan dan pembangunan umat, sehingga Madrasah Musthafawiyah dapat dianggap sebagai pesantren pelopor dan perintis bagi perkembangan ilmu pengetahuan agama pada awal abad ke-20, khususnya di Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel), umumnya Sumatera Utara.
Madrasah yang pertama didirikan di Mandailing adalah Madrasah Islamiyah yang dibangun oleh Syekh Musthafa Husein di Tano Bato, Kayu Laut sekitar tahun 1912, kemudian beliau pindah ke desa Purba Baru pada tahun 1915, di tempat inilah dilanjutkan pendidikan Islam yang kemudian bernama Madrasah/Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, Mandailing.
Setelah berdiri lembaga pendidikan Islam di Purba Baru, kemudian berdiri pula beberapa Madrasah Islamiyah di daerah lain antara tahun 1927 sampai 1935.
Lembaga pendidikan Islam ini cukup besar peranannya dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Mandailing.
Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, telah memiliki alumni terbesar di seluruh pelosok Nusantara, banyak alumni Musthafawiyah yang melanjutkan kuliah ke berbagai perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri dan telah berhasil di berbagai bidang.
Di Musthafawiyah, Syekh Musthafa Husein dipanggil dengan sebutan Tuan Guru na Tobang, dan seorang menantunya yang bernama Syekh Abdul Halim Khatib sebagai Rais al- Mu‘allimin dipanggil dengan sebutan Tuan Guru na Poso, dalam bahasa Mandailing, poso artinya muda.
Karena itu, Tuan Guru na Poso berarti tuan guru yang muda. Pada satu sisi, memang usia Syekh Abdul Halim Khatib jauh lebih muda dibanding Syekh Musthafa Husain. Namun, sebutan na poso tersebut lebih dimaksudkan agar masyarakat dapat membedakan antara kedua kiai tersebut.
Ponpes Musthafawiyah adalah pondok klasik yang mempelajari kitab-kitab kuning, di antara kitab-kitab yang dipelajari di pesantren ini adalah Hasyiyah Al-Bajuri, Tafsir al-Jalalain, Hasyiyah Syarqawy ‘ala At-Tahrir, Bulughul Maram, Syarh Ibn A’qil, Kawakib Ad-Duriyyah, Matn Arba‘in Al-Nawawiyah, Hasyiyah Dusuki ‘ala Ummi al-Barahin dan lain-lain.
K.H. Sirajuddin Abbas telah memasukkan nama Syeikh Musthafa Husein di dalam bukunya “Keagungan Mazhab Syafii” sebagai penyebar Mazhab Syafiiyyah di Indonesia.
Pada awalnya, lembaga pendidikan Islam yang dibangun Syekh Musthafa Husein disebut sekolah Arab atau maktab, Kemudian, pada tahun 1950-an, atas usul Syekh Ja’far Abdul Wahab, sebutan maktab diganti dengan Madrasah Musthafawiyah.
Akhirnya, pada tahun 1990-an, sebutan madrasah diganti dengan Ma‘had atau Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
Kisah Syekh Musthafa Husein
Muhammad Yatim nama kecil Syekh Musthafa Husein lahir pada pada tahun 1303 H atau 1886 M di desa Tanobato, Kayu Laut, Madina.
Keadaan masyarakat di Tanobato saat itu sangat menyedihkan akibat perlakuan penjajah Belanda yang memberlakukan sistem tanam paksa bagi para petani.
Pemerintah kolonial Belanda pada masa sebelumnya membawa sistem paksa dalam penanaman kopi beserta pengangkutannya dari pedalaman ke pantai.
Pada masa itu pemerintah kolonial membangun pergudangan kopi di Pekantan di daerah pedalaman Sumatera di dekat perbatasan dengan daerah Pasaman, Sumatera Barat, Muarasipongi, Kotanopan, Maga, Pasar Tanobato, Tapus dan Natal.
Muhammad Yatim lahir dari keluarga yang taat beragama, ayahnya bernama Haji Husein bin Umar Nasution.
Haji Husein adalah seorang saudagar shalih, menekuni bidang usaha dagang hasil pertanian seperti beras, karet, kopi dan cengkeh.
Haji Husein berasal dari Huta (Desa) Purbabaru, namun kakek-kakeknya berasal dari Panyabungan Julu, Ibu dari Muhammad Yatim adalah Hajjah Halimah, berasal dari Ampung Siala, Batang Natal.
Keluarga Haji Husein dan Hajjah Halimah dikarunianya sembilan orang anak. Muhammad Yatim adalah anak ketiga. Dalam usia tujuh tahun, Muhammad Yatim disekolahkan oleh ayahnya di sekolah rakyat (Volk School) di Kayu Laut.
Pada masa ini, ia belajar selama lima tahun, setelah menyelesaikan pendidikan di masa ini, seorang gurunya (Sutan Guru) meminta kepada orangtua Muhammad Yatim agar Muhammad Yatim melanjutkan ke jenjang Sekolah Raja di Bukit Tinggi.
Karena gurunya tersebut menilai bahwa Muhammad Yatim adalah anak yang cerdas dan cukup mampu. Akan tetapi, orangtua Muhammad Yatim lebih cenderung menginginkan anaknya untuk belajar agama Islam kepada Syekh Abdul Hamid di Huta Pungkut, Kotanopan.
Huta pungkut pada masa itu adalah termasuk ke dalam wilayah Ke-Kuriaan Tamiang, adalah desa yang dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh pejuang kebangsaan dan orang terpelajar.
Muhammad Yatim belajar kepada Syekh Abdul Hamid Lubis sekiar tiga tahun (1897 M – 1900 M) dengan sistem belajar yang bukan formal, yang mana beliau tinggal bersama dengan Syekh Abdul Hamid Lubis.
Pengajiannya hanya sekali seminggu yaitu pada setiap hari Ahad. Selain itu, Muhammad Yatim mengikuti Syekh Abdul Hamid berkebun kopi yang jaraknya 3 Kilometer dari desa Huta Pungkut.
Tidak jarang mereka bermalam di kebun dan baru kembali ke desa menjelang pengajian berlangsung.
Kedekatannya dengan guru telah menghasilkan perilaku Islami pada diri Muhammad Yatim dan pada dirinya semakin tumbuh suatu keyakinan dan kepercayaan yang kuat untuk lebih giat belajar ilmu pengetahuan Islam.
Atas bimbingan Syekh Abdul Hamid inilah muncul semangat pada diri Muhammad Yatim untuk memperdalam ilmu agamanya di Makkah, demikian pula Haji Husein (orangtuanya) yang juga berharap dan bercita-cita agar anaknya dapat belajar di Makkah.
Atas anjuran Syekh Abdul Hamid Lubis, maka kemudian diambil kesepakatan untuk memberangkatan Muhammad Yatim merantau ke Makkah bersama jama’ah haji dari Mandailing pada masa itu.
Selama 13 tahun, Musthafa Husein bermukim sekaligus mendalami ilmu agama di Makkah, yakni mulai tahun 1319 H hingga 1332 H.
Musthafa Husein tidak pernah pulang ke tanah airnya selama di Makkah sehingga hubungan dengan keluarga di tanah air adalah melalui jama’ah haji ataupun keluarga yang datang dari Mandailing.
Sebagaimana layaknya perantau yang sedang menimba ilmu dan cinta akan tanah airnya, Musthafa Husein amat memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesempatan yang dimilikinya.
Hingga pada tahun 1330 H/1991 M, Musthafa Husein mendengar berita wafatnya ayahnya, beberapa waktu kemudian ibunya memanggil Musthafa Husein agar pulang ke Mandailing. Panggilan ibunda itu dipenuhinya, tepat pada tanggal 1 Muharram beliau meninggalkan Makkah, setelah melaksanakan ibadah haji.
Musthafa Husein tiba di Mandailing pada bulan Rabiul awal tahun 1332 H (sekitar bulan Januari – Februari 1914 M) untuk menjawab panggilan sang ibu dan juga untuk berziarah ke makam ayahnya.
Sesudah berziarah ia merencanakan akan kembali ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama Islam yang dirasanya belum memadai. Namun, setelah kembali bersama keluarganya di Mandailing, beliau tidak lagi diperbolehkan untuk kembali ke Makkah.
Hal itu dipenuhinya dengan ikhlas atas permintaan keluarga dan masyarakat yang membutuhkan guru agama Islam dan untuk mengembangkan syariat Islam di Mandailing.
Pada bulan syawal tahun 1332 H (sekitar bulan Agustus – September 1914 M), atas permintaan keluarganya, Musthafa Husein menikah dengan seorang gadis bernama Habibah, yang asalnya dari Huta Pungkut, Kotaponan.
Seorang yang masih merupakan kerabat dekat dari Abdul Haris Nasution yang saat itu masih usia belia. Peristiwa itu adalah masuk dalam bulan ketujuh setelah tiba pada bulan Rabiul awal di Mandailing.
Pasangan ini dikaruniai 10 orang anak, yakni dua orang anak laki-laki dan delapan orang anak perempuan. Anak perempuan yang pertama dinikahkan dengan Syekh Muhktar Siddik, anak perempuan yang kedua dinikahkan dengan Syekh Ja’far Abdul Wahab.
Pada malam rabu 5 November 1955, Syekh Musthafa Husein terkena serangan penyakit, saat itu usianya mencapai 70 tahun, hingga kemudian dibawa ke Padangsidimpuan untuk dirujuk ke rumah sakit.
Di Padangsidimpuan, sebelum dibawa ke rumah sakit, ia dibawa ke rumah menantunya, yakni Syekh Ja’far Abdul Wahhab yang dikenal sebagai “Ayah Mesir”, dalam pengawasan dokter. Darah tinggi dan diabetes adalah yang menjadi penyakitnya selama sekitar satu minggu.
Ulama bersahaja itu akhirnya menghembuskan napas yang terakhir pada hari Rabu 16 November 1955 / 1 Rabiulawal 1375 H, Pukul 16:15 WIB di Padangsidimpuan.
Jenazahnya dibawa kembali ke Purba Baru pada hari kamis esoknya, dengan iringan yang cukup ramai disertai sambutan penuh haru dan rasa pilu yang mendalam.
Desa Purba Baru penuh sesak oleh ribuan orang pelayat yang datang dari berbagai daerah sebagai tanda turut berduka dan untuk memberikan penghormatan terakhir .
Sepeninggal Syekh Musthafa, Pondok pesantren Musthafawiyah, purba baru dikelola dan dipimpin oleh putra tertuanya, Haji Abdullah Musthafa Nasution.
Sejak mendirikan Madrasah Musthafawiyah sampai wafatnya Syekh Musthafa Husein, kepemimpinan pesantren tetap berada di tangannya.
Pada periode tersebut Syekh Musthafa Husein memegang kepemimpinan tunggal (single leader). Ia hanya dibantu oleh seorang sekretaris dan bendahara dalam mengoperasikan pesantren, dan pada akhir jabatannya, ia mewariskan 9 ruang belajar dan 450 orang santri.
Sumber : wikipedia