WARTAMANDAILING.COM, Mandailing Natal – Sebuah kebodohan jika intelektualitas hanya diukur dengan beberapa lembar kertas berwarna. Kebodohan itu tercium ketika ada menyeruak pemberitaan yang mempertanyakan tentang ada apa dibalik seruan keras dari beberapa pihak tentang penutupan pertambangan emas tanpa izin (PETI) Kotanopan, Madina, Sumut.
Ada yang menganggap bahwa yang menolak PETI adalah pihak yang tidak mendapatkan upeti, kemudian apakah yang menerima PETI adalah mereka yang menerima upeti? Hal itu diungkapkan Farhan Donganta kader IMA Madina STAIN Mandailing Natal, Panyabungan, Rabu, (17/04/2024).
“Perlu diketahui bahwa penolakan PETI Kotanopan adalah hal yang perlu diapresiasi karena masih banyak pihak di Mandailing Natal yang turut memerhatikan perkembangan daerahnya melalui sikap kritisisme, “ujar Farhan.
Menurutnya, pun pada dasarnya kita melihat bahwa di Mandailing Natal banyak tambang ilegal, pada dasarnya dia sudah mengucapkan usulan solusi berupa Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang harusnya diperhatikan, dikarenakan Mandailing Natal membutuhkan keseimbangan antara ekologi dan ekonomi, hal yang dia ucapkan tersebut adalah penolakan atas ketimpangan antara ekologi dan ekonomi.
“Karena kehidupan tidak boleh hanya berpusat pada manusia, kita harus memerhatikan unsur-unsur lingkungan hidup, arti dari hal tersebut adalah dunia hari ini menolak adanya antroposentrisme, “timpalnya.
Tanya Farhan, bukankah ketika kita memiliki sawah dan mencari penghidupan dari sawah kita harus merawat sawah tersebut agar hasil-hasil panen dari sawah tersebut bermutu dan baik untuk dikonsumsi.
“Yang saya ucapkan ini adalah analogi sederhana dimana kita dan alam saling membutuhkan dan saling melengkapi. Kita bisa melihat bahwa ketika adanya longsor atau erosi di beberapa tempat adalah dikarenakan curah hujan yang tinggi dan kekurangan pohon yang tidak bisa menampung air hujan tersebut, “lanjutnya.
Dia juga mempertanyakan, Mengapa hal-hal sederhana seperti ini tidak kita jadikan sebagai dasar acuan kita untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup kita?. Bukankah Izin Pertambangan Rakyat (IPR) nantinya dapat digunakan di daerah-daerah pertambangan di Mandailing Natal, bukankah hal tersebut adalah hal baik untuk rakyat Mandailing Natal, tentu saja hal tersebut adalah hal yang sangat baik untuk rakyat?.
“Maka dari itu, sudah seharusnya kesadaran akan pelestarian lingkungan hidup mulai kita gaungkan di Mandailing Natal melalui penolakan atas operasi tambang ilegal yang terjadi di Kotanopan, “sambungnya.
Diterangkan Farhan, di negara-negara penghasil minyak, mereka memerhatikan bagaimana seharusnya lingkungan hidup dijaga agar kebutuhan hidup terpenuhi itu terjadi di Uni Emirat Arab dengan contoh spesifiknya kota Dubai, dimana keseimbangan terjaga dan rakyatnya menjadi sejahtera.
“Sekali lagi, hal-hal yang perlu disikapi dengan integritas adalah hal yang jauh dari pragmatisme apalagi oportunisme, “terangnya.
Sesal Farhan, jika kita membiarkan tambang ilegal tetap beroperasi di Kotanopan maka kita membiarkan kemelaratan alam di Mandailing Natal. Hal ini terjadi di Batang Natal beberapa tahun yang lalu.
“Seharusnya hal buruk yang terjadi di Batang Natal tersebut kita jadikan sebagai pengalaman dan kita membantu pihak-pihak terkait (pemerintah dan APH) melalui kritisisme yang kita miliki agar kita menemukan jalan penyelesaian masalah, “cetusnya.
Dia juga menyesalkan laporan Mahasiswa melalui DPP IMA Madina di polres Madina terkait PETI Kotanopan namun belum ada tindakan yang Berarti.
Senada dengan ketua DPP IMA Madina Abdul khobir menyesalkan sikap Polres Madina.
“Bapak kapolres sudah diam atau mungkin sudah menyerah atas kasus PETI kotanopan. Dibuktikan laporan dan pengaduan dari DPP IMA MADINA tidak pernah di approve kejelasannya, sudah sejauh mana pemeriksaan yang dilakukan oleh polres Madina, “tanya Khobir.
Dikatakannya, alat bukti sudah ada, saksi-saksi sudah ada, selanjutnya tinggal pemanggilan dan pemeriksaan para penambang yang menggunakan alat berat di kotanopan.
“Sampai sekarang belum juga di laksanakan oleh Polres Madina, lucukan!” Tandasnya. (*)