WARTAMANDAILING.COM, Jakarta – Sepekan ini masyarakat dihebohkan dengan munculnya sejumlah keraton baru. Ada yang menamakan keraton Agung Sejagat di Purworejo, Keraton Djipang di Blora, serta Sunda Empire di Bandung.
Tidak dipungkiri Indonesia memang memiliki banyak kesultanan dari berbagai daerah yang telah berdiri sejak masa penjajahan.
Ini menjadi kekayaan tersendiri. Bahkan, setiap kesultanan memiliki aturan serta tradisi berbeda-beda. Namun itu dahulu, kini semua sudah melebur dan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lalu apa saja peninggalan-peninggalan tradisi unik dari setiap kerajaan yang ada di Indonesia dan bahkan beberapa masih dipertahankan sebagai nilai budaya? Dirilis dari okezone pada Minggu (18/1/2020)
Berikut beragam tradisi keraton tertentu yang telah dirangkum, sebagaimana dikutip dari berbagai sumber :
Keraton Yogyakarta
Salah satu tradisi yang digelar Keraton Yogyakarta adalah Apeman. Tradisi ini biasa digelar untuk peringatan bertahtanya seorang sultan. Dalam tradisi tersebut, banyak kue apem yang disediakan sebagai simbol ungkapan rasa syukur dan permohonan ampun atas segala kesalahan.
Pembuatan apem ini dilakukan oleh seluruh pihak yang ada di keraton. Mulai dari membuat adonan, memasak adonan, hingga membentuk apem berukuran besar.
Tradisi Apeman dipimpin oleh permaisuri sultan lalu diikuti oleh keluarga keraton, termasuk putri-putrinya. Dalem tradisi Apeman terdapat dua jenis apem. Pertama, apem dengan ukuran besar atau apem pustaka. Kedua, apem yang jumlahnya ratusan dengan ukuran lebih kecil.
Apem mustaka dibuat khusus oleh permaisuri dengan dibantu putri-putrinya serta abdi dalem tertentu. Setelah masak, apem mustaka akan ditata hingga setinggi badan sultan.
Pada puncak acara syukuran, apem-apem itu dibagikan ke para pangeran, petinggi-petinggi keraton, hingga dijadikan oleh-oleh untuk bupati serta juru kunci.
Keraton Kasunan Surakarta
Menyambut malam Lailatul Qudar atau Malam Seribu Bulan pada Bulan Ramadan, Keraton Kasunan Surakarta rutin menggelar tradisi kirab Malam Salikuran. Dalam bahasa Indonesia, selikur memiliki arti dua puluh satu (21), sehingga Malam Selikuran berarti Malam Dua Puluh Satu.
Tradisi Malam Salikuran dilakukan dengan kirab atau mengarak 1.000 tumpeng yang dibawa oleh para abdi dalam. Tidak hanya itu, prajurit keraton hingga keluarga keraton ikut mengarak tumpeng dengan berjalan kaki. Titik akhir arak-arakan tumpeng berbeda setiap tahunnya.
Usai sampai di titik tujuan, para peserta kirab duduk dan melakukan doa bersama. Usai doa bersama, tumpeng kemudian dibagikan kepada para peserta serta masyarakat sekitar. Setelah acara selesai, para peserta kira kembali lagi ke Keraton Surakarta.
Bagi sejumlah masyarakat, nasi tumpeng yang dibagikan tersebut diyakini mampu membawa berkah.
Keraton Cirebon
Setiap tahun, Keraton Kesepuhan Cirebon menggelar sebuah tradisi Siraman Panjang atau mencuci piring pusaka. Dalam tradisi ini piring-piring pusaka peninggalan Wali Songo dicuci dalam rangka merayakan Maulid Nabi atau kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Sebelum piring-piring pusaka dicuci, keluarga serta abdi dalem keraton melantunkan selawat dan membaca doa bersama. Biasanya mereka berpakaian serbaputih, begitu pun piring-piring pusaka juga dibungkus dengan kain putih. Tidak hanya piring saja yang dicucui, gelas, dan guci pusaka pun ikut dicuci.
Usai pencucian piring pusaka, air hasil cucian piring diserbu oleh warga yang menyaksikan ritual tersebut. Masyarakat menilai bahwa air tersebut membawa berkah karena piring-piring pusaka yang dicuci itu memiliki ukiran kaligrafi. Siraman Panjang ini memiliki makna merefleksikan kondisi yang suci saat merayan Maulid Nabi.
Keraton Kesultanan Ternate
Menyambut malam Lailatul Kadar, sejumlah masyarakat di Ternate, Maluku Utara, melakukan pembakaran obor atau yang disebut Tradisi Ela-Ela oleh masyarakat setempat. Tradisi tersebut memiliki makna kegembiraan masyarakat atas turunnya keberkahan Lailatul Kadar.
Tradisi ini diawali dengan pembacaan doa di Keraton Kesultanan Ternate setelah selesai salat tarawih. Seluruh masyarakat setempat biasanya memasang tiga buah ela-ela di halaman rumahnya sampai pagi. Ela-ela menjadi tradisi turun temurun yang masih dipertahankan.
Masyarakat menilai malam itu malaikat turun dari langit. Maka dari itu mereka menyambutnya dengan cara membakar obor menerangi kampong.(wm/okezone)