WARTAMANDAILING.COM, Jakarta – Sebanyak 1.139 hotel telah tutup dan 1.174 hotel tutup dengan mengenakan cuti atau PHK terhadap karyawannya. Hal ini terjadi sebagai dampak dari pandemi COVID-19. Berdasarkan data yang diterima dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), angka yang sudah tembus 1.000 itu dihitung per 1 April 2020.
Selain itu, ada pula 286 restoran dan tempat hiburan yang tutup. Jumlah ini pun diprediksi akan terus meningkat seiring dengan belum tertanganinya COVID-19 di Indonesia.
“Saya yakin masih lebih banyak dari itu. Itu kita collect (mengumpulkan) datanya melalui Badan Pimpinan Daerah seluruh Indonesia jadi setiap hari mereka update (memperbarui) data terus jika ada yang tutup lagi. Ada daerah-daerah yang kabupaten/kotanya cukup besar jadi nggak mudah juga (mendata). Kita kan kontaknya langsung yang di provinsi,” kata Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran, Sabtu (4/4/2020).
Data menunjukkan, penutupan hotel, restoran dan tempat hiburan itu tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa provinsi dengan kondisi terparah adalah di DKI Jakarta, Jawa Barat, DIY, Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan.
Kondisi ini terjadi lantaran pihak hotel maupun restoran sudah tidak mampu lagi membayar biaya utilitas seperti listrik dan gas serta gaji karyawan.
“Tutup karena revenue (pendapatan) yang masuk sudah tidak cocok lagi dengan biaya operasionalnya. Beban pertama adalah karyawan tapi (saat ini) utilitas di nomor satuin dulu karena nanti lebih berat lagi mulainya (kalau diputus). Makanya memilih menutup hotelnya saja. Diharapkan utilitasnya rendah, karyawan bisa digaji setengahnya. Atau yang tidak kuat sama sekali, dia (hotel) sudah melakukan unpaid leave (cuti tidak dibayar),” imbuh Maulana.
Sementara itu Maulana berharap pemerintah dapat melakukan relaksasi berupa kemudahan membayar listrik, gas, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), THR dan iuran BPJS bagi karyawan. Ia juga berharap Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dapat menjembatani suara dari industri dengan pemerintah.
“Kemenpar harusnya mengawal ini. Mengawal semua kebijakan yang kami inginkan dengan pemerintah. Semua regulasi kita kan dari KL (Kementerian/Lembaga) yang berbeda. Kalau G to G (government to government atau pemerintah ke pemerintah) yang mengawal itu lebih baik. Tidak semua sektor atau asosiasi dapat berhubungan langsung dengan KL-KL tersebut,” ujarnya.
Maulana juga berharap anggaran dari Kemenparekraf dapat dimanfaatkan untuk mendukung sektor pariwisata saat ini.
“Mohon untuk dapat anggarannya itu dialokasikan untuk penanganan COVID-19, maksudnya fokus ke dampak-dampak di sektor pariwisata,” tutupnya.(sumber: detik.com)