Kita tidak mengenal UKW, karena Kita Resmi SKW Lisensi BNSP
WARTAMANDAILING.COM, Padangsidimpuan – Terkait menghalangi kinerja Pers dalam menggali informasi, Ketum SPRI mengecam keras, seperti yang dialami seorang anggota utama SPRI dari media Pelita Semesta, Kamis (7/11/ 2024) di Kantor Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan.
Wawancara Terkait seorang DPO yang dilantik jadi anggota DPRD Kota Padangsidimpuan, Publik menunggu berita selanjutnya, sebab berita DPO dilantik jadi Anggota DPRD sempat viral.
Burju Simatupang ST. SH, Ketua SPRI DPD Sumut menegaskan, pernyataan Ketum SPRI Hence Mandagi bahwa Dewan Pers, faktanya telah berubah fungsi menjadi Regulator karena telah mengambil kewenangan BNSP dengan menerbitkan Lisensi kepada 24 Lembaga Uji Kompetensi sejak tanggal 9 September 2011 sampai dengan 27 April 2022. Padahal kewenangan untuk memberi lisensi kepada LSP tersebut ada pada BNSP. https://dewanpers.or.id/data/lembaga_uji_kompetensi.
Bahwa Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengatur tentang sertifikasi profesi dan kompetensi pada Pasal 43, Ayat (3) : Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat profesi. Kemudian pada Pasal 44 : (4) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi.
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 61, Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Permenakertrans No. PER. 21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-96A/MEN/VI/2004
tentang Pedoman Penyiapan dan Akreditasi Lembaga Sertifikasi Profesi.
Ketentuan pidana UU Pendidikan Tinggi Pasal 93 : Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Bahwa perjuangan di MK sudah selesai dan putusannya tidak menerima permohonan kami. Itu karena keterangan Organisasi konstituen dan ahli, serta Presiden dan DPR, bahkan eks Ketua Dewan Pers bahwa Dewan Pers tidak bisa menentukan sendiri isi peraturan.
Dewan Pers berfungsi sebagai fasilitator bukan regulator.
Pemegang hak menyusun peraturan ditegaskan kepada organisasi pers bukan Dewan Pers.
Jadi menurut Majelis pasal tentang Fungsi Dewan Pers sebagai fasilitator sudah jelas tafsirnya tidak perlu ditambahkan sebagaimana yg diajukan pemohon.
(Kami ajukan itu karena selama ini Dewan Pers mengklaim pasal ini yg melegitimasi DP berhak membuat peraturan atau sebagai regulator di bidang pers)
Sebagai informasi. Tidak ada dalam putusan mengatakan Dewan Pers satu – satu nya yang berhak melaksanakan uji kompetensi wartawan. Silahkan cek di halaman 223 sd 225 putusan MK.
MK justru mengesankan tidak berwenang memutuskan tentang kewenangan BNSP.
MK malah menyarankan jika ada keberatan terhadap UKW di Dewan Pers maka itu dapat ditempuh dengan keberatan ke DP atau gugat TUN atau Uji materi di MA.
Bahwa mekanisme uji kompetensi di BNSP mengacu sistem yg berlaku secara internasional termasuk Pers.
Kami justeru menawarkan fasilitas mempercepat harmonisasi Dewan Pers degan BNSP dalam pelaksanaan UKW. Karena DP belum memiliki standar kompetensi berbasis KKNI yg diatur dalam UU ketenagakerjaan.
SPRI dan LSP Pers punya standar kompetensi yg disahkan negara lewat Kemenaker RI.
Wartawan itu profesi sehingga tunduk pada UU Ketenagakerjaan.
UU Pers hanya mengatur kegiatan atau praktek jurnalistik agar karya jurnalistik tidak dikriminalisasi atau lex spesialis.
Di UU Pers, seluruh pasal yg ada tidak mengatur tentang Uji kompetensi wartawan.
Kalau UU Kedokteran dan UU Pengacara itu diatur secara jelas. Itupun saat ini sdg mengajukan lisensi dan harmonisasi di BNSP.
Sertifikasi di BNSP bukan bersifat umum tapi justeru sangat detail per item pekerjaan dalam sebuah profesi. Karena yg diuji itu kemampuan, skill, etika, pengetahuan, dan semua komponen yg dapat membuktikan seseorang itu profesional dan kompeten di bidang pekerjaannya. Bukan hanya sebatas penjenjangan yang bersifat umum.
Contoh konkrit, UU Kepolisian dan UU KPK tidak diatur tentang uji kompetensi.
Meski di internal ada Lemdiklat Polri, makanya uji kompetensi wajib lewat
BNSP karen semua profesi masuk dalam sistem sertifikasi nasional di Bapenas termasuk Pers.
Di BNSP lewat LSP Pers, mekanisme uji terhadap wartawan adalah berdasarkan jabatan pekerjaan yg sedang dijalankan.
Misalnya kompetensi reporter dengan standar kompetensi yg sesuai dgn aktifitas dan keahliannya sebagai reporter.
Pun bagi redaktur diuji berdasarkan bukti kerja, kemampuan, dan keahliannya sebagai redaktur pada level madya.
Begitu juga pada jabatan pimred dan redpel diuji sesuai standar kompetensi bagi level Utama.
Perbedaan di Dewan Pers, mekanismenya penjenjangan degan satandar kompetensi yg sama bagi semua jabatan. yang berbeda hanya mekanismenya.
Kalau jabatannya pimred sekalipun wajib mengikuti dari bawah atau Muda. Untuk ke Utama harus lewat Madya dan menunggu 4 tahun lagi baru bisa ambil Skema Utama.
Kendalanya Pimred yang sudah puluhan tahun jadi wartawan harus mengikuti standar degan mekanisme uji level bawah meski kompetensi dan keahliannya sudah setara S3 di pendidikan tinggi namun diuji dgn standar yg sama serta alat ukur dari level bawah.
Burju Simatupang, ST. SH, juga menegaskan, Barang siapa menghalang halangi tugas Jurnalistik dikenakan sanksi kurungan 2(dua) tahun penjara atau denda Rp 500.000.000,-, (Lima ratus juta rupiah). (r)