Multikulturalisme di Mandailing Natal

Dosen Stain Madina / Azhar Nasution M.Ag, fhoto : Istimewa.
Dosen Stain Madina / Azhar Nasution M.Ag, fhoto : Istimewa.

KABUPATEN Mandailing Natal merupakan salah satu wilayah di Sumatera Utara yang memiliki karakter masyarakat majemuk. Kemajemukan ini tercermin dari keberagaman agama, marga, bahasa, latar belakang sosial, dan budaya yang hidup berdampingan secara harmonis.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, jumlah penduduk Kabupaten Mandailing Natal yang memeluk agama Islam mencapai 436.905 jiwa, disusul oleh pemeluk agama Protestan sebanyak 18.251 jiwa, Katolik 1.699 jiwa, Hindu 8 jiwa, Buddha 162 jiwa, dan Khonghucu 20 jiwa. Data ini menunjukkan bahwa masyarakat Mandailing Natal memiliki latar belakang keagamaan yang beragam, meskipun mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Keberagaman ini menjadi bukti bahwa kehidupan masyarakat di Mandailing Natal diwarnai oleh pluralitas keyakinan yang hidup berdampingan secara harmonis. Kemudian daripada itu kondisi tersebut menunjukkan adanya tingkat toleransi dan semangat gotong royong yang tinggi di antara masyarakatnya, Walaupun terdapat perbedaan yang nyata, masyarakat Mandailing Natal mampu menjaga kehidupan sosial yang damai tanpa konflik.

Sosial

Dalam kehidupan sosial, masyarakat Mandailing Natal menjunjung tinggi nilai sopan santun dan etika dalam berinteraksi, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, maupun asal-usul seseorang. Sikap ini menjadi bagian dari nilai moral yang telah mengakar kuat, mendorong terwujudnya toleransi, empati, dan solidaritas sosial. Hal ini tampak nyata dalam berbagai kegiatan sosial, seperti pada acara siriaon (pesta pernikahan) dan siluluton (peristiwa kemalangan), di mana masyarakat saling membantu dan bekerja sama untuk meringankan beban pihak yang bersangkutan. Tradisi gotong royong ini menjadi wujud nyata dari nilai kebersamaan dan rasa persaudaraan yang kuat di tengah masyarakat.

Keagamaan

Sejak berdirinya Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 1998, belum pernah tercatat adanya konflik antar ummat beragama. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat saling menghormati antar pemeluk agama sangat tinggi. Meskipun mayoritas penduduk beragama Islam, masyarakat tetap menjunjung nilai kebersamaan dan menghargai kebebasan beragama. Hal ini sejalan dengan semboyan daerah “Negeri Beradat, Taat Beribadat”, yang mengandung makna bahwa masyarakat Mandailing Natal menempatkan adat dan agama sebagai dua pilar utama dalam kehidupan. Ketika perayaan hari besar atau pelaksanaan ritual keagamaan berlangsung, masyarakat dari agama lain tetap menghormati dan tidak saling mengganggu, sehingga tercipta suasana rukun dan damai.

Budaya dan Adat

Bacaan Lainnya

Mandailing Natal memiliki kekayaan budaya dan adat istiadat yang beragam, dengan penerapan yang menyesuaikan latar belakang agama dan daerah masing-masing. Misalnya, tata cara pernikahan dalam masyarakat Muslim dan Kristen memiliki perbedaan, demikian pula bentuk gotong royong di berbagai parkahanggian (kelompok kekerabatan) dapat bervariasi. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak menimbulkan kesenjangan sosial atau diskriminasi, karena seluruh masyarakat tetap dipersatukan oleh identitas budaya Mandailing yang menekankan nilai persaudaraan dan kebersamaan.

Aspek Kekerabatan (Marga)

Sistem kekerabatan dalam masyarakat Mandailing Natal ditandai oleh keberagaman marga seperti Nasution, Lubis, Rangkuti, Pulungan, Harahap, Hasibuan, Daulay, Matondang, Rambe, Dalimunthe, dan lainnya. Meskipun terdapat banyak marga, tidak ada hierarki yang menunjukkan dominasi atau kasta tertentu. Setiap marga memiliki kedudukan yang setara dalam kehidupan sosial. Prinsip egalitarian ini memperkuat solidaritas dan memperkokoh persatuan di antara masyarakat, sehingga perbedaan marga tidak menjadi sumber perpecahan, melainkan kekayaan sosial yang mempererat hubungan antar warga.

Kesimpulan

Multikulturalisme di Mandailing Natal merupakan hasil dari perpaduan nilai-nilai adat, agama, dan sosial yang berjalan seimbang. Toleransi, gotong royong, dan solidaritas menjadi fondasi utama dalam menjaga keharmonisan masyarakat yang beragam. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Mandailing Natal mampu menjadikan perbedaan sebagai kekuatan untuk membangun kehidupan sosial yang damai, setara dan berkeadaban.

Penulis : Dosen Stain Madina / Azhar Nasution M.Ag

Contoh Gambar di HTML

Pos terkait