WARTAMANDAILING.COM – PANDEMI Covid-19 yang menghantam perekonomian, tak terkecuali dunia perzakatan nasional, memunculkan kembali diskursus tentang investasi zakat. Pandemi Covid-19 seolah menyadarkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) perlu memiliki endowment fund (dana abadi) untuk menjamin kelangsungan lembaga.
Dalam hal ini, argumen yang dibangun adalah dana zakat boleh dita’khirkan penyalurannya untuk diinvestasikan sementara waktu agar menghasilkan surplus zakat. Surplus investasi zakat inilah yang akan menjadi endowment fund.
Pertanyaan kuncinya adalah bolehkah dana zakat digunakan untuk istitsmar (investasi)? Pada dasarnya dana zakat itu bersifat fauriyah (disegerakan penyalurannya), baik dari muzaki kepada amil maupun dari amil kepada mustahik. Mengapa? Karena zakat hadir untuk menjamin terjaganya lima hak asasi (asasul khamsah).
Hak asasi mustahik perlu mendapat jaminan melalui dana zakat. Nah, bicara hak asasi biasanya bersifat jangka pendek. Tidak bisa ditunda. Fakir miskin yang lapar mesti dijamin makannya. Fakir miskin yang sakit mesti dijamin kesehatannya. Fakir miskin yang bodoh mesti dijamin pendidikannya.
Mahasiswa yang tidak bisa bayar kuliah (ibnu sabil), mesti dibantu. Para da’i (fi sabilillah) yang kesulitan dalam berdakwah, perlu didukung. Para TKI yang terancam terjebak dalam human trafficking (riqab), harus segera ditolong. Kebutuhan-kebutuhan ini adalah kebutuhan mendesak yang mesti dipenuhi segera.
Oleh karena itu, dana zakat boleh digunakan untuk investasi dengan syarat jika mustahiknya belum ada dan terdapat kemaslahatan yang dinilai lebih besar untuk mustahik, bukan untuk LAZ. Parameter kemaslahatan ini mesti dinilai oleh para pakar yang diakui otoritas keilmuannya. Sehingga, maslahat tersebut merupakan maslahat syar’iyah.
Kini, mari kita analisis data dan fakta, apakah mustahik, utamanya fakir miskin, di Indonesia belum ada? Apakah mustahik tersebut tidak membutuhkan segera dana zakat? Sehingga, penyaluran dana zakat bisa ditunda sementara waktu.
Data kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mampu menjawab betapa kemiskinan di Indonesia meruyak. Artinya, pada syarat ini saja, dalam konteks umat Islam Indonesia, menunda penyaluran dana zakat tidaklah maslahat. Malah berpotensi menimbulkan mudharat yang lebih besar ketimbang maslahatnya. Maka, kaidah Fiqh dar al-mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-mashalih (menghindari mudharat mesti didahulukan daripada mengambil maslahat) harus dikedepankan.
Jika pun mau diasumsikan, mustahik (utamanya fakir miskin) di Indonesia tidak membutuhkan penyaluran dana zakat dengan segera, lantas apakah dengan serta merta dana zakat boleh diinvestasikan? Boleh, namun dengan persyaratan yang ketat, kecuali jika mau diterabas.
Pertama, harus disalurkan pada bidang-bidang usaha yang dibenarkan secara syari’ah dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Artinya, tidak semua bidang usaha bisa jadi sarana untuk investasi dana zakat. Hanya usaha-usaha yang bidang operasinya dipastikan kehalalannya secara syari’ah dan legal secara hukum negara.
Kedua, bidang usaha tersebut selain benar secara syari’ah dan legal secara hukum negara, juga diyakini akan memberikan keuntungan berdasarkan studi kelayakan bisnis yang bisa dipertanggungjawabkan. Karenanya, studi kelayakan bisnis mesti dilakukan oleh pihak yang kompeten dan amanah.
Ketiga, dilakukan oleh lembaga yang profesional, kompeten, dan amanah. Selektif dalam memilih lembaga mitra tujuan investasi menjadi titik kritis. Karena, ketika investasi zakat tersebut dikelola oleh lembaga yang tidak kompeten dan amanah, maka risiko kerugian dan kehilangan dana zakat menjadi terbuka.
Keempat, dibina dan diawasi oleh badan atau pihak-pihak yang memiliki kompetensi. Selain pengelola mesti kompeten dan amanah, diperlukan juga adanya badan pengawas yang kompeten untuk memastikan skema investasi berjalan baik.
Kelima, memperoleh izin investasi dari pemerintah, dan bila terjadi kerugian atau pailit harus ada pihak yang menjadi penjamin, dalam hal ini pemerintah, sehingga dana umat tidak hilang. Kehilangan dana zakat akibat investasi adalah sebuah pelanggaran syari’at. Karenanya, prinsip kehati-hatian mesti dikedepankan.
Data kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mampu menjawab betapa kemiskinan di Indonesia meruyak. Artinya, pada syarat ini saja, dalam konteks umat Islam Indonesia, menunda penyaluran dana zakat tidaklah maslahat. Malah berpotensi menimbulkan mudharat yang lebih besar ketimbang maslahatnya. Maka, kaidah Fiqh dar al-mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-mashalih (menghindari mudharat mesti didahulukan daripada mengambil maslahat) harus dikedepankan.
Jika pun mau diasumsikan, mustahik (utamanya fakir miskin) di Indonesia tidak membutuhkan penyaluran dana zakat dengan segera, lantas apakah dengan serta merta dana zakat boleh diinvestasikan? Boleh, namun dengan persyaratan yang ketat, kecuali jika mau diterabas.
Pertama, harus disalurkan pada bidang-bidang usaha yang dibenarkan secara syari’ah dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Artinya, tidak semua bidang usaha bisa jadi sarana untuk investasi dana zakat. Hanya usaha-usaha yang bidang operasinya dipastikan kehalalannya secara syari’ah dan legal secara hukum negara.
Kedua, bidang usaha tersebut selain benar secara syari’ah dan legal secara hukum negara, juga diyakini akan memberikan keuntungan berdasarkan studi kelayakan bisnis yang bisa dipertanggungjawabkan. Karenanya, studi kelayakan bisnis mesti dilakukan oleh pihak yang kompeten dan amanah.
Ketiga, dilakukan oleh lembaga yang profesional, kompeten, dan amanah. Selektif dalam memilih lembaga mitra tujuan investasi menjadi titik kritis. Karena, ketika investasi zakat tersebut dikelola oleh lembaga yang tidak kompeten dan amanah, maka risiko kerugian dan kehilangan dana zakat menjadi terbuka.
Keempat, dibina dan diawasi oleh badan atau pihak-pihak yang memiliki kompetensi. Selain pengelola mesti kompeten dan amanah, diperlukan juga adanya badan pengawas yang kompeten untuk memastikan skema investasi berjalan baik.
Kelima, memperoleh izin investasi dari pemerintah, dan bila terjadi kerugian atau pailit harus ada pihak yang menjadi penjamin, dalam hal ini pemerintah, sehingga dana umat tidak hilang. Kehilangan dana zakat akibat investasi adalah sebuah pelanggaran syari’at. Karenanya, prinsip kehati-hatian mesti dikedepankan.
Keenam, dibatasi waktunya. Jangka waktu investasi zakat tidak boleh melebihi satu tahun. Karena, dana zakat terkait dengan waktu haul (satu tahun). Rasionalnya maksimal enam bulan, sehingga masih ada limit waktu enam bulan berikutnya untuk penyaluran.
Mengacu pada syarat-syarat di atas, maka penulis memandang menunda penyaluran dana zakat untuk investasi lebih besar potensi mudharatnya daripada potensi maslahatnya. Secara prinsip, ketika syari’at Islam menetapkan penyaluran zakat harus disegerakan tentulah ada hikmahnya, yaitu menjamin terpenuhinya hak asasi mustahik. Ini yang dijaga betul oleh syari’at Islam.
Lantas, bagaimana solusinya? Apakah tertutup peluang bagi LAZ untuk memiliki endowment fund? Islam memiliki instrumen yang tepat untuk diinvestasikan dan menjadi endowment fund, yaitu wakaf. Secara prinsip, wakaf memang didisain untuk produktif. Maka, dana wakaf tunai yang terhimpun mesti diinvestasikan pada bidang-bidang usaha yang syar’i agar menghasilkan surplus wakaf. Surplus wakaf ini bisa menjadi endowment fund yang digunakan untuk kemaslahatan umat.
Wakaf berupa aset atau harta tidak bergerak juga harus diproduktifkan. Misalnya, aset wakaf berupa gedung, mesti disewakan untuk berbagai keperluan, sehingga menghasilkan surplus wakaf. Aset wakaf berupa sekolah, mesti dioperasikan agar produktif menghasilkan.
Karena itu, janganlah kita terbolak-balik dalam menjalankan syari’at. Zakat itu bersifat fauriyah, karenanya harus segera disalurkan. Sedangkan, untuk investasi, instrumen yang tepat digunakan adalah wakaf.