Rapid Test Formalitas, Selebihnya Bisnis
Komisioner Ombudsman RI yang fokus memperhatikan isu transportasi, Alvin Lie menduga kewajiban rapid test dibuat untuk sekadar menjadi komoditas bisnis, alih-alih atas alasan kesehatan–mencegah penyebaran pandemi.
“Persepsi publik sudah ke sana. Seperti yang saya potret di Bandara Soetta, ada ‘drive thru rapid test harga promo’. Kalau sudah ada harga promo, kalau bukan bisnis apalagi?” kata Alvin seperti dilansir dari Tirto.id
Alvin bilang idealnya tes rapid atau swab bukanlah tempat untuk mencari uang lebih. Alasannya sederhana: kedua tes tersebut merupakan layanan penunjang yang sangat dibutuhkan di tengah krisis pandemi COVID-19.
Oleh sebab itu ia mendesak pemerintah transparan dalam penentuan harga tes rapid dan swab. Pemerintah bisa memberikan indeks rujukan seperti harga obat di apotek sehingga kemudian tidak ada yang membuka harga semaunya.
“Kami mendesak pemerintah agar transparan, sebenarnya harga rapid test di Indonesia berapa sih? Kemudian importirnya siapa saja. Jangan-jangan importirnya hanya dua tiga gelintir. Mereka bisa melakukan oligopoli juga,” kata Alvin.
Selain itu menurutnya, di negara lain tidak ada kewajiban rapid test apalagi swab untuk perjalanan domestik.
Jika alasannya untuk mencegah penyebaran COVID-19 ke daerah lain, kebijakan itu dirasa diskriminatif karena hanya menyasar pengguna kendaraan umum, tidak ke pemakai kendaraan pribadi.
“Untuk terbang naik kereta harus pakai rapid atau swab test tapi kalau bus atau mobil pribadi tidak ada urusannya. Ini kan peraturan yang aneh,” kata dia.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono bahkan menyarankan agar pemerintah menghentikan total praktik rapid test sebab tidak akurat. Akurasi buruk karena yang diuji adalah antibodi, bukan virus.
Akibatnya, orang-orang yang sudah terjangkit COVID-19 tapi belum terbentuk antibodinya akan menimbulkan hasil nonreaktif.
Sebaliknya, orang yang memiliki antibodi kendati bukan karena COVID-19 akan menunjukkan hasil reaktif. Permasalahannya, sampai saat ini tidak pernah ada evaluasi mengenai hal itu.
“Harus ditinjau ulang manfaatnya apa. Lebih baik fokus pada peningkatan kapasitas dengan tes PCR,” kata Pandu.(Nas)