WARTAMANDAILING.COM, Mandailing Natal – Memiliki rumah layak huni adalah sebuah impian bagi Tiasum (53), salah seorang warga Desa Silogun, Kecamatan Pakantan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Ibu yang memiliki enam orang anak itu sudah 10 tahun menempati hunian yang berdindingkan bambu dan beratapkan daun salak.
Wanita yang ditinggal wafat suaminya itu sebelumnya tinggal di Desa Aek Nabara, Kecamatan Panyabungan Timur. Dikarenakan kesulitan ekonomi ia dan keluarga terpaksa pindah ke desa Silogun kemudian mendirikan rumah sebagai tempat tinggal yang dilihat secara kasat mata tidak layak huni.
Rumah yang berpintu sekedar saja itu terlihat tidak ada berisikan perlengakapn perabotan seperti lemari, kursi, tempat tidur serta perabotan seperti layaknya rumah warga pada umumnya. Yang ada terlihat di dalam rumah itu hanya tungku batu diatas tumpukan tanah serta tikar yang tampak sudah lapuk.
Bahkan, kata Tiasum kepada Warta Mandailing, Kamis (18/11/2021), jika malam hari, dia bersama keenam anaknya yang laki-laki dan perempuan tidur dalam satu ruangan tanpa ada pembatas dan ia mengaku sudah terbiasa dengan keadaan hidup seperti itu.
“Rumah ini kami bangun bersama almarhum suamiku sekitar sepuluh tahun yang lalu, tanahnya kami pinjam kepada warga. Betah nggak betah tinggal di rumah seperti ini ya gimana lagi, kalau belum punya apa-apa, kami pasrah aja,” ungkap Tiasum.
Dengan mata berbinar, Tiasum menceritakan, untuk kebutuhan sehari-hari, belakangan ini sejak dirinya sakit-sakitan, ia hanya bisa mengandalkan pendapatan yang terbatas dari upah anaknya sebagai kuli kebun musiman.
“Anak saya kadang ada kerja, kadang nggak ada, upah yang ia dapat tak menentu nilainya,terkadang hanya Rp 50 ribu sehari, saya tidak bisa membantu, sekarang saya sakit-sakitan,” ucapnya lirih.
Pantauan wartawan, kondisi rumah Tiasum sangat memprihatinkan. Kayunya sudah banyak yang lapuk. Tampak dinding tembus pandang, atap terbuat dari daun salak serta isi rumah tak ada perabotan, jika turun hujan kondisi atap rumah bocor sehingga air merembes dalam rumah.
“Saya memiliki KTP dan kartu keluarga sebagai warga kecamatan Pakantan. Tapi saya tidak faham apakah kami mendapatkan bentuk bantuan dari pemerintah,” tutur Tiasum sembari memperlihatkan identitasnya kepada wartawan.
Saat ditanyai apakah ia bagian dari warga penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) atau BPJS dari dinas terkait, Tiasum mengakui tidak ada. Namun, ia pernah mendapatkan bantuan uang tunai beberapa bulan lalu yang pada saat itu diambilkan tetangganya di kantor pos.
“Nggak masuk PKH, cuma ngerasa dulu ada uang tunai dari kantor pos, katanya bantuan covid, itu aja,” akunya.
Lalu, soal pendidikan anak-anaknya, ibu paruh baya itu mengatakan, keenam anaknya semua hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). Diakibatkan selain keterbatasan ekonomi, jarak tempuh sekolah lanjutan, kata Tiasum, cukup jauh bagi anaknya dan aksesnya harus melewati perbukitan ke kabupaten sebelah Pasaman timur.
Oleh karena itu, saat ini Tiasum sangat mengharapkan bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki rumahnya, agar kedepan ia dan anak-anaknya bisa tidur dengan nyaman sebagaimana impiannya selama ini. Terlebih perhatian dari Bupati dan Wakil Bupati Madina yang sekarang ini. (Syahren)