WARTAMANDAILING.COM, Padang Lawas Utara – Baruga Sinergi Institut (BSI) selaku panitia pelaksana Bimbingan Teknis (Bimtek) Desa se Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) dinilai tidak bermoral. Sebab, telah menempatkan para peserta Bimtek yang diikuti para Kepala Desa dan perangkatnya di penginapan tergolong di bawah standar atau hotel kelas melati di kota Medan.
Ironisnya, untuk standar pelaksanaan Bimtek, selain dinilai hotel kelas melati, para peserta Bimtek desa se Kabupaten Paluta ini juga diinapkan di beberapa hotel yang lokasinya berdekatan dengan Spa dan diskotik. Sehingga hal ini menjadi perbincangan hangat ditengah-tengah para peserta Bimtek.
“Apalagi Bimtek desa ini tidak sedikit dipesertai kaum hawa, dan sebahagian ada juga yang membawa keluarga (anak istri). Seperti Griya Hotel, Pave Hotel dan Saka Hotel di kota Medan, menurut saya kurang etis untuk dijadikan tempat pelaksanaan serta penginapa para peserta Bimtek,” tegas Ketua LSM OMCI Perwakilan Sumut, Syamsul Bahri Harahap saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (11/6/2022).
Tempat penginapan dan pelaksanaan Bimtek seperti di Griya Hotel, dengan suasana malam yang terdengar suara musik dari Bar dan diskotik serta berada di lokasi keluar masuknya Wanita Tunasusila (WTS) dan tamu-tamu yang ingin Spa, menurut Syamsul, tentu berpotensi mengganggu konsentrasi dan mengalihkan perhatian peserta Bimtek.
“Tentu tempat dan area pelaksanaan Bimtek ini sangat bertentangan dengan slogan kabupaten Paluta yaitu, ‘Padang Lawas Utara yang Beriman, Cerdas, Maju dan Beradat’ sebagaimana yang diutarakan Bupati Paluta, Bapak Andar Amin Harahap beberapa waktu lalu,” ungkap Syamsul yang juga merupakan Ketua Lembaga Konsultan Pendamping Desa (LKPD) Sumatera Utara.
Slogan hanya sebatas tulisan, namun menurutnya, mustahil bagi seorang Bupati tidak mengetahui kegiatan Bimtek tersebut dilaksanakan di hotel mana saja. Sebab, pihak pemerintah kabupaten Paluta seperti oknum Camat dan oknum di dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), ia duga turut serta hadir di kota Medan untuk mengkondisikan hotel tempat dilaksanakannya Bimtek.
“Hal ini bagi saya perlu dipertanyakan,” imbuhnya lagi.
Selain itu, lanjut Syamsul, jumlah peserta yang seharusnya mengikuti Bimtek ialah sebanyak 3 orang dengan biaya sebesar Rp. 15 juta tiap desa lalu hanya dihadiri dan diikuti 2 peserta saja, bagi dia juga menjadi tanda tanya. Sebab, yang ia ketahui, dalam laporan keuangan desa nantinya, pelaksanaan Bimtek tetap diikuti 3 orang peserta.
“Kades mengakui itu, uang yang disetorkan ke panitia tetap 3 peserta sebesar Rp. 15 Juta, tapi untuk hadir mengikuti Bimtek nya, kami diarahkan oleh pihak kecamatan untuk berangkat hanya 2 orang saja,” terang Syamsul menirukan pengakuan salah satu Kades yang mengikuti Bimtek.
Masih soal itu, Syamsul mengungkapkan lagi, saat dirinya menanyakan lagi ke Kades yang dirahasiakan namanya itu, tentang siapa oknum di kecamatan yang mengarahkan atau mengatakan untuk pelaksanaan Bimtek dimaksud hanya diikuti atau menghadirkan 2 peserta saja. Kades tersebut enggan untuk menjawab dan menyebut nama oknum di kecamatan tersebut.
Nah, saat Syamsul menanyakan lagi soal penyerahan biaya Bimtek ke panitia apakah dilakukan pemotongan pajak, Kades tersebut mengatakan tidak ada potongan. Biaya Bimtek diserahkan sesuai nominal yang tertera yakni Rp. 5 Juta per peserta, padahal setiap mereka mengikuti sosialisasi di desa, pembayaran dipotong pajak.
Kata Syamsul, persoalan ini sangat menarik untuk diulas, kenapa kegiatan sosialisasi desa dipotong pajak dan mengapa kegiatan Bimtek tidak dibebani pajak. Ada apa?
“Mari kita lihat PPH 21 dan Permenkeu Tahun 2020 serta Permenkeu Tahun 2021 tentang standar biaya masukan Tahun 2022. Tapi okelah membahas tentang peraturan kita belakangkan dulu, sebab kita juga yakin benar bahwa panitia dan oknum dari dinas PMD serta pihak kecamatan sudah pakarnya tentang peraturan,” tandasnya.
Pertanyaannya adalah, kalaulah pembayaran biaya Bimtek dipotong pajak, lantas siapa yang menerima dan memotong pajak dari kegiatan Bimtek tersebut? Tentu diduga kuat ada konspirasi yang dibangun oleh pihak panitia dengan pihak dinas PMD atau pihak camat se kabupaten Paluta.
“Kenapa saya katakan demikian? Karna Bimtek bukanlah hasil dari Musdes yang dituangkan ke RKPDes lalu ditampung di APBDes, sehingga kegiatan ini terkesan titipan dari oknum-oknum berkepentingan,” pungkas Syamsul.
Sebagai pengamat dan ketua salah satu lembaga konsultan pendamping desa yang sedikit faham tentang pemberdayaan desa, dalam amatan dan mencermati soal pelaksanaan Bimtek ini, Syamsul menilai ada beberapa kejanggalan yang perlu diungkap dan menurutnya penting untuk diusut. (Nas)