WARTAMANDAILING.COM, Mandailing Natal – Rendahnya tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus pemukulan dan pengeroyokan terhadap wartawan di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Jeffry Barata Lubis dinilai tidak mencerminkan keadilan.
Ahli pers dari Dewan Pers, Nurhalim Tanjung, menyebut, pelaku pemukulan tersebut sudah mengancam kebebasan pers. Tuntutan jaksa yang hanya satu tahun kepada keempat terdakwa dinilai sudah memprihatinkan kalangan pers di provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Nurhalim Tanjung menegaskan bahwa di dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers berbunyi sudah menjamin kemerdekaan pers. Ada hukuman bagi yang melakukan pelanggaran pasal ini.
“Atas tuntutan JPU dalam kasus ini, saya sangat merasa prihatin. Dan saya mendorong wartawan di Madina untuk terus mengawal proses hukum kasus ini dan juga berharap agar hakim dapat menjatuhkan hukuman lebih berat dari tuntutan jaksa,” ungkapnya, Jumat (29/7/2022).
Sedangkan menurut Pengamat Hukum dari Universitas Panca Budi, Rediyanto Sidi Jambak menanggapi rendahnya tuntutan JPU tersebut, bahwa jaksa harus berani menjelaskan dasar pertimbangan munculnya tuntutan satu tahun untuk para terdakwa pengeroyokan wartawan.
Sebab, menurut Rediyanto, hal ini berkaitan dengan rasa keadilan yang harus diterima korban. Selain singkat, tuntutan satu tahun tidak akan memberi jera terhadap para terdakwa. Dan menurutnya lagi, hal ini akan menjadi catatan buruk bagi kinerja jaksa.
“Saya yakin, korban dan keluarganya secara psikis hingga saat ini masih trauma. Selain itu, sikap kritis wartawanpun akan tertekan,” jelasnya.
Rediyanto kepada Majelis Hakim berharap, dalam persidangan bisa mengambil keputusan yang adil. Menurutnya, keputusan yang adil ini bisa diambil dari fakta-fakta yang tampak dalam persidangan selama ini.
“Banyak fakta-fakta persidangan yang muncul. Bahkan saksi-saksi yang dihadirkan juga mengakui terjadinya pengeroyokan tersebut. CCTV juga sudah membuktikan adanya peristiwa itu,” tegas salah satu dosen hukum di Universitas Panca Budi itu.
Kemudian, kata dia, dengan melihat ringannya tuntutan yang diberikan oleh JPU terhadap perkara pengeroyokan ini, ia pun jadi merasa ragu dengan sikap JPU dalam perkara PETI yang rencanannya akan sidang pembacaan tuntutan pada tanggal 4 Agustus 2022 mendatang.
“Perkara PETI dan pengeroyokan ini memang bukan perkara yang sama. Namun diduga kuat, kedua kasus atau perkara ini mempunyai hubungan yang erat,” sambungnya.
Sebab, lanjutnya lagi, akibat dari pemberitaan PETI yang gencar di soroti oleh korban yang diduga mengendap di Poldasu, maka diduga kuat pemukulan dan pengeroyokan ini terjadi.
“Dan jika perkara pemukulan dan pengeroyokan di muka umum yang telah viral ini saja dituntut hanya satu tahun penjara, bagaimana dengan perkara PETI. Sudah jelas dalam SPDP awal pada tahun 2020 lalu tercantum pasal 158 tentang Minerba, ketika pelimpahan tahap II bisa berubah jadi pasal 161 tentang Minerba. Kan aneh,” kata Rediyanto penuh tanda tanya.
Oleh sebab itu, Rediyanto berharap kepada Majelis hakim agar bisa menjadi pemberi keadilan bagi korban. Menurutnya, banyak kejanggalan dalam dua perkara tersebut yang membutuhkan kebijaksanaan hakim.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kabupaten Madina, Novan Hadian, SH, MH ketika dikonfirmasi terkait tuntutan JPU satu tahun penjara kepada terdakwa yang dikenakan pasal 170 ayat (2) poin 1e dengan ancaman tujuh tahun penjara menjelaskan, bahwa tuntutan tersebut telah sesuai dan sudah dipertimbangkan.
“Tuntutan sudah sesuai dengan alat bukti dalam berkas perkara dan juga sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Dan tuntutan itu sudah dipertimbangkan secara matang berdasarkan keterangan dari saksi-saksi. Saksi korban, saksi dalam berkas perkara, terdakwa dan saksi ahli,” terang Kajari.
Namun ketika disinggung soal dua berkas terpisah antara terdakwa AL dan S dkk, bahkan ada terdakwa yang berstatus residivis, Novan berujar, melihat peranannya dalam kasus yang sebenarnya. (TIM)