KISAH Pilu Warga Desa Silogun yang Tinggal di Wilayah Perbatasan

Beginilah situasi di Desa Silogun, Kecamatan Pakantan yang tampak natural (foto: Syahren)

WARTAMANDAILING.COM, Mandailing Natal – Tidak semua daerah di Indonesia memiliki kondisi fasilitas dan infrastruktur yang sama. Berbeda dengan di tengah kota, daerah-daerah di pedalaman dan terpencil biasanya masih sangat minim sarana prasarana yang dapat mendukung aktivitas warganya.

Seperti di Desa Silogun, Kecamatan Pakantan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Di desa tersebut, fasilitas infrastruktur seperti jalan, jaringan listrik, pelayanan kesehatan dan juga pelayanan pendidikan masih sangat kurang.

Desa Silogun merupakan salah satu desa terpencil yang ada di provinsi Sumatera Utara (Sumut). Jumlah penghuninya lebih kurang 27 Kepala Keluarga atau 134 jiwa yang terletak di daerah perbatasan antara Sumut-Sumatera Barat (Sumbar), tepatnya di Kecamatan Rao Kabupaten Pasaman Barat.

Silogun tergolong masih tertinggal dari segala hal dibidang pembangunan, baik itu sarana infrastruktur jalan, pelayanan umum maupun listrik. Bahkan fasilitas kesehatan di sana pun juga masih minim, sehingga warga sering kesulitan untuk mendapatkan akses dalam keseharian mereka.

Penelusuran wartawan, akibat kurangnya akses, kisah memilukan terus menerus dialami warga desa Silogun. Mengapa tidak? Akses jalan dari pusat kecamatan Pakantan yang bisa dilalui kendaraan ke desa ini tidak ada, adanya hanya jalan tikus yang lalui dengan berjalan kaki.

“Kalau akses dengan menggunakan kendaraan roda empat seperti mobil Taff badak hanya bisa dari simpang desa Sum Padang, Kecamatan Rao, Kabupaten Pasaman Timur,” tutur salah seorang warga kepada Warta Mandailing.

Kalau pun ada warga yang membutuhkan pengobatan terpaksa harus ditandu ke pusat kecamatan dengan jarak sekitar 8 kilo meter dengan jarak tempuh dua jam perjalanan. Sementara untuk akses jalan yang bisa dilalui kendaraan roda empat dari jalan pertanian warga kecamatan Rao mencapai jarak sekitar 9 kilo meter dengan waktu tempuh dua jam melewati perbukitan.

Read More

“Kami terpaksa menandu pasien ke pusat kecamatan melewati jalan tikus yang masih tanah berlumpur dari tengah hutan. Hal itu sering kami lakukan, jika ada warga yang sakit dan harus dirujuk berobat untuk mendapatkan pertolongan ke puskesmas ataupun ke rumah sakit,” ungkap warga lainnya.

Jika diperhatikan seksama, kondisi jalan yang tampak memprihatinkan itu walau beberapa tahun yang lalu warga sempat membuat jalan secara swadaya sebagai jalan penghubung ke jalan utama kecamatan, akibat minimnya perhatian dan pengawasan dari pemerintah setempat, kondisi jalan yang seharusnya menjadi akses utama warga kini tertutup rerimbunan dan sulit untuk dilalui.

“Harapan kami kepada DPRD Madina selaku lembaga yang mewakili suara rakyat dan kepada pemerintah daerah sebagai penanggung jawab akses antar desa bisa melihat realita ini,” pungkas warga.

Dapat disimpulkan, dari cerita dan keluh kesah tiap-tiap warga yang ditemui wartawan, dalam penelusuran yang dilakukan, hanya ungkapan permohonan agar desa mereka disetarakan dengan pembangunan desa yang lain. Mereka berpesan agar harapan mereka ini dapat disampaikan kepada pihak terkait guna mendorong dan meningkatkan kesejahteraan warga. (Syahren)

Related posts