Begini kisah Pelajar di Madina, Ke Sekolah Jalan Kaki 6 KM Melewati Hutan

Usai melintasi hutan, para siswa lalu menyeberagi sungai batang gadis untuk bisa sampai ke sekolah, (fhoto-istimewa).

WARTAMANDAILING.COM, Mandailing Natal – Kisah pilu untuk menuju ke sekolah juga dialami para pelajar yang bermukim di perbukitan Tor Pulo, yakni Dusun Lubuk Sihim dan Aek Tombang, Desa Muara Batang Angkola, Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara.

Kali ini, para pelajar yang merupakan warga dari mayoritas bersuku Nias tersebut harus berjibaku menuruni bukit terjal, berlumpur dan berjalan kaki hingga sampai ke sekolah tercinta mereka.

Setiap harinya puluhan siswa dari tingkatan Sekolah Dasar (SD) dan Tingkatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) berangkat subuh melintasi hutan.

Mereka menenteng sepatu dan tas, nanti kembali dipasang setelah sampai induk desa. Terkadang dalam perjalanan, mereka juga bertemu dengan segerombolan monyet liar, babi hutan, bahkan binatang buas lainnya.

Sepanjang enam kilometer, diremang subuh mereka sudah berangkat agar tak terlambat ke sekolah tanpa ditemani oleh orang tua. Siswa kelas 1 SD hingga SMP itu menggunakan lampu teplok dan senter untuk melewati dinginnya dan gelapnya malam.

Tak itu saja, sesampainya di tepi sungai Batang Gadis mereka harus menyeberangi sungai dengan menggunakan “Getek” (rakit tradisional). Tak jarang juga mereka harus menyeberangi sungai saat sedang surut.

Kepala Dusun Lubuk Sihim, Desa Muara Batang Angkola, Mustiaman Harefa menjelaskan, setiap harinya ada puluhan anak sekolah dari beberapa dusun yang ada di daerah itu berjalan kaki di dua tingkatan sekolah yang ada di Kecamatan Siabu. Mereka menempuh jarak dengan kilometer yang bervariasi.

Read More

“Kalau dari Aek Tombang siswa harus berjalan 6 kilometer bila hendak ke SD di desa induk. Kalau dari dusun kita (Lubuk Sihim) sekitar 3 kilometer,” Mustiaman Harefa kepada wartawan, Kamis (13/10/2022).

Diuraikannya, kalau dari tor Dairi, Banjar Lasiak, para siswa berangkat pada pukul 04.30, pakai pakaian sehari-hari. Sesampainya di desa induk, baru diganti dengan seragam sekolah.

Dia mengakui, perjuangan menuntut ilmu itu harus dilakukan meskipun jaraknya yang sangat jauh. Kadang, kata dia, orang tua juga merasa kasihan atas perjuangan anak-anak mereka.

Bagaimana tidak, kata dia lagi, jangankan anak-anak, orang tua juga tidak sanggup melaluinya apalagi itu tiap hari, konon lagi anak-anak.

“Disini nggak ada sekolah. Ini harus kami lakukan, mau gimana lagi pak? ,” ungkap Kepala Dusun Lubuk Sihim, Mustiaman Harefa.

Dia berharap kepada pemerintah daerah agar melakukan upaya dalam meringankan beban yang dirasakan oleh warga yang bermukim di tor Pulo tersebut, yakni dengan mendirikan sekolah filial di dusun Lubuk Sihim.

“Pendirian gedung sekolah filial sangat kami harapkan. Kasihan pak anak- sekolah itu. Setidaknya anak sekolah kelas, 1,2,3 bisa sekolah disini. Kami orang tua saja tidak kuat, apalagi anak-anak,” katanya dengan penuh harap.

Informasi yang dihimpun, saat ini ada sekitar 50 Kepala Keluarga (KK) warga suku Nias yang bermukim di perbukitan Tor Pulo tersebut.

Plt Kepala Desa Muara Batang Angkola, Abdul Rohman mengatakan, jika warga yang bermukim diperbukitan itu berkepala desa ke Muara Batang Angkola, Desa Hutagodang Muda dan Tangga Bosi. (Syahren)

Related posts