Oleh: Siti Marwiyah
Wakil Rektor I Universitas Dr. Soetomo Surabaya
WARTAMANDAILING.COM – CATATAN tahun 2019 menunjukkan bahwa negeri ini masih panen koruptor. Harapan awal banyak pihak kalau di tahun 2019 tidak akan banyak tangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), nyatanya eskspektasi kosong.
KPK masih banyak mendapatkan tangkapan koruptor. Itu juga mengisyaratkan, bahwa bibit-bibit koruptor masih terus terbentuk dengan masif, sistematis, dan terstruktur. mereka membuktikan dirinya dengan cara beraksi mengikuti jejak para pendahulunya dan bahkan pintar mengembangkannya di sejumlah dan beragam zona yang mendatangkan keuntungan.
Mereka itu seperti membenarkan dan mengukuhkan stigma kalau korupsi merupakan penyakit laten dan sudah mengultur, sehingga siapapun anak bangsa yang jadi penguasa “berkewajiban” terjaga keberlanjutan korupsinya sepanjang hayat pertiwi.
Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK tak ubahnya menjadi penjaring biasa, pasalnya mesti akan mendapatkan seseorang atau sejumlah orang yang diduga sebagai koruptor, yang kesemua ini berelasi dengan banyaknya kandidat pemberhala kekuasaan yang masih nekad menjadi sel-sel korupsi.
Kasus itu juga jadi pelengkap “tragedi” berupa penodaan citra bangsa Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat beragama. Artinya negara dengan penduduk beragama ini ternyata elemen strukturalnya kesulitan menceraikan dirinya dari penyakit berpola penyalahgunaan jabatan.
Mereka itu mengetahui dan paham kalau jabatan yang diembannya merupakan amanat negara (rakyat), tapi pengetahuan dan pemahaman tentang amanat ini dikalahkan oleh nafsu menyalahgunakannya.
Ada beberapa pejabat misalnya yang berapologi bahwa yang dilakukannya tidak tergolong korupsi atau tidak tahu kalau itu kategorinya korupsi. Apologi ini tentu saja sulit dterima, pasalnya mereka sudah mendapatkan ilmu pengetahuan atau rambu-rambu yuridis tentang jenis-ienis perbuatan yang berkategori korupsi.
Masih rentannya aparat atau politisi dan “mitranya” yang tergelincir melakukan korupsi hingga ini, memmbuat kasus exstra ordinary crime ini identik air bah yang mengalir dan menerjang tatanan. Misalnya dari berbagai “zona” kekuasaan, penyalahgunaan uang negara terjadi.
Koruptor di berbagai sektor pembangunan sedang unjuk diri menantang setiap elemen penegak hukum. Para koruptor menahbiskan dirinya sebagai kreator penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahalamatan keuangan negara secara spektakuler dan masif. Benar-benar ada fenomena booming penyalahalamatan uang negara dimana-mana.
Dari satu kasus korupsi yang muncul di satu tempat (institusi), ternyata di tempat lain korupsi juga terjadi lebih serius atau “mengerikan”. Penyakit yang menghegemoni bangsa ini habituasinya berelasi dengan “ideologi” kekuasaan yang tak terpisah dengan penyalahgunaan oleh oknumoknumnya, sehingga jargon gimana ada kekuasaan, di situ ada “kreasi” korupsi, sekecil apapun korupsi itu “dikreasikan”jelas benar adanya.
Monopoli Kekuasaan Periset kenamaan tentang korupsi bernama Klittgard menyatakan bahwa korupsi timbul karena adanya m0nopoli kekuasaan yang ditambah dengan keleleusaan memproduk diskresi (discretion) atau diskresi yang dihasilkannya tidak diimbangi dengan pertanggungjawaban (accountability).
Discretion (otoritas) memang merupakan kewenangan yang melekat pada setiap orang atau elite untuk mengambil pilihan dari beberapa alternatif yang dilakukan tanpa ada kendali akuntabilitas, sehingga untuk mencegah diskresi yang berujung korupsi ini, pengawasan menjadi kutlak diperhitungkan.
Logika Klittgard itu sejalan dengan pernyataan paling populer dari Lord Acton yang menyebut power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely atau kekuasaan itu cenderung melakukan korupsi dan semakin absolut kekuasaan, maka korupsi juga semakin absolut.
Pikiran Lord Acton itu paling sering digunakan sebagai pisau analisis untuk menunjukkan pada siapapun yang berkeinginan menjadi pejabat, bahwa keinginannya ini identik dengan memasuki lorong gelap korupsi.