Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo berkali-kali menekankan bahwa BI tidak akan mengambil langkah mencetak uang untuk menambah likuiditas di perbankan. Sebab, BI lebih memilih cara yang sesuai dengan mekanisme pasar.
Meski banyak yang meminta BI untuk mencetak uang termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) saat rapat bersama, tapi Perry menepis bahwa itu cara yang tepat.
Menurutnya, cetak uang untuk menambah likuiditas perbankan serta membantu pembiayaan defisit fiskal bukan hal yang tepat, meskipun BI bisa melakukannya.
Adapun metode pencetakan uang oleh bank sentral disebut dengan MMT. Saat ini, bank sentral AS atau The Fed juga didorong untuk melakukan MMT demi menambal defisit fiskal.
“Pandangan-pandangan itu tidak sejalan dengan praktek kebijakan yang lazim, bukan praktik kebijakan moneter lazim, dan tidak akan dilakukan di BI,” ujar Perry, Kamis (14/5/2020).
Alasan BI tidak ingin mencetak uang meski Indonesia dalam kondisi sulit karena dampak pandemi Covid-19 yakni, pertama, Perry tak ingin kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BI) pada tahun 1998 yang menyebabkan inflasi melonjak tinggi hingga 67% terulang kembali.
Saat itu BI mengeluarkan atau mencetak uang untuk membeli Surat Utang Pemerintah (SUP). Namun, saat kondisi kembali membaik, susah menyerap kembali saat likuiditas yang beredar terlalu besar.
“SUP-nya itu tidak tradable [diperdagangkan], suku bunganya itu mendekati 0%. Karena tidak tradable mendekati 0%, kemudian inflasinya naik, bank sentral tidak bisa menggunakan SUP ini untuk menyerap likuiditas. Kenapa di 98-99 itu inflasinya 67%. Itu yang disebut pencetakan uang. Beda dengan yang kita lakukan sekarang,” jelasnya.
Kedua, BI lebih memilih melakukan kebijakan moneter yang lazim seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
GWM adalah dana atau simpanan minimum yang harus dipelihara bank dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di BI, besarannya ditetapkan oleh bank sentral berdasarkan persentase dana pihak ketiga yang dihimpun.
Kembali ke defisit anggaran, sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkirakan defisit APBN 2020 bisa mencapai 5,07% dari PDB. Proyeksi ini yang menjadi dasar pemerintah untuk mengeluarkan Perppu agar defisit APBN tidak melebihi batas yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara sebesar 3% dari PDB.
Sumber: CNBCIndonesia