Ternyata konflik kian menajam membuat Datuk Imam kian terdesak. Teror dan ancaman gencar dialamatken kepada Datuk Imam.
“Tampaknya situasi sudah kacau balau. Saya memperhitungkan keselamatan diri saya dan keluarga. Saya setuju dengan usul Anda, Pangeran Indra Sutan. Saya bersedia ikut berpetualang bersama Anda,” ujar Datuk Imam.
“Syukurlah, saya merasa mendapat kehormatan dan semakin bersemangat bersama Yang Mulia Datuk Imam. Kalau begitu, kita segera berangkat. Tidak usah menunggu waktu lama,” kata Pangeran Indra Sutan.
Datuk Imam tidak sendirian. Bersamanya ikut sejumlah pengikut setianya. Karena itulah, Datuk Imam mempersiapkan kapal tersendiri untuk menemani kapal rombongan Pangeran Indra Sutan.
Rombongan dua kapal itu kemudian bergerak menyusuri perairan Sumatera bagian barat. Berhari-hari kapal-kapal itu berlayar menembus badai dan gelombang. Akhirnya rombongan Pangeran Indra Sutan dan Datuk Imam tiba di sebuah pantai yang landai dan indah dipandang mata.
Pemandangan indah itu menarik perhatian Pangeran Indra Sutan dan Datuk Imam. Mereka kemudian bersepakat berhenti di tempat itu. Kapal menepi dan mereka mencapai daratan.
Pangeran Indra Sutan mulai mengamati kondisi alam sekitar. Tidak jauh dari tempatnya berdiri terlihat muara sungai yang memenuhi syarat menjadi pelabuhan. Aliran sungainya lebar sehingga memungkinkan kapal-kapal berbadan besar bisa masuk ke dalam.
Pengamatan dilanjutkan dengan mengendarai kuda yang turut mereka bawa dalam pelayaran itu. Dengan mengendarai kuda Pangeran Indra Sutan dan rombongan lebih leluasa melakukan penelitian terhadap kondisi alam yang mereka singgahi.
Dalam pengembaraan itu, mereka menemukan lahan daratan yang cukup luas. Tampaknya wilayah itu belum berpenghuni.
“Tampaknya inilah wilayah yang cocok untuk kita tinggal membangun kerajaan di sini,” kata Pangeran Indra Sutan kepada pengikutnya.
Guna merayakan penemuan itu, Pangeran Indra Sutan melaksanakan upacara ritual menimbang tanah. Ia masukkan sekepal tanah yang dibawa dari Kerajaan Indrapura ke dalam rongga labu kering.
Setelah itu, Pangeran Indra Sutan mengambil segenggam tanah daratan yang baru ditemukan kemudian memasukkannya ke rongga labu kering yang sudah dipersiapkan sejak keberangkatannya dulu.
Labu kering yang berisi sekapal tanah kelahiran dan sekepal tanah daratan yang baru didatanngi itu, ditimang-timang menggunakan kedua tangannya. Ritual ini mereka sebut sebagai ritual menimbang tanah, sebagai simbolis pembukaan lahan baru di tanah rantau.
“Sesuai kondisinya yang luas dan landai, tanah ini kita namai Ranah Nan Data”ucapPangeran Indra Sutan disambut tepuk tangan dan sorak sorai pengikutnya.
Mereka optimis Ranah Nan Data dengan potensi alamnya merupakan daerah yang akan membawa kemakmuran penghuninya kelak. Air sungai yang mengalir di areal lahan yang luas bisa menopang pertanian.
Sungai itu cukup lebar bermuara ke laut, bisa dijadikan jalur transportasi mengangkut hasil bumi dan perdagangan. Sementara muara sungai akan dijadikan pelabuhan perniagaan.
Sejak saat itu daerah yang landai dan luas itu memiliki nama Ranah Nan Data, artinya tanah yang datar. Lama kelamaan, sebutan Ranah Nan Data oleh penduduk disingkat menjadi “Nata”. Seiring masuknya penjajahan dan hubungan perdagangan, oleh pengaruh lidah asing sebutan “Nata” berganti dengan “Natal” sampai sekarang.
Dikisahkan, Pangeran Indra Sutan dan Datuk Imam meluaskan pengembaraan di daerah sekitarnya sehingga menemukan daerah baru lagi yang mereka berinama Lingga Bayu yang terletak di hulu Ranah Nan Data cikal bakal Natal.
Dua sahabat pengembara itu kemudian sepakat membagi wilayah kekuasaan. Kerajaan Natal dipimpin Datuk Imam, sementara Pangeran Indra Sutan dan pengikutnya menguasai Lingga Bayu yang kaya dengan bahan tambang emas. Mereka bersumpah, Natal dan Lingga Bayu menjadi dua kerajaan yang bersaudara dan memelihara perdamaian selamanya.